Indahnya Budaya Jawa
PARIWISATA DAN LEGENDA NUSAKAMBANGAN
Filed under: BUDAYA,PARIWISATA — pendekarjawa
bunga wijayakusuma, cerita rakyat, cilacap, legenda, legenda nusakambangan, nusakambangan, pantai karang pandan, pantai pasir putih, pantai permisan, pantai rancah babakan, wijayakusuma, wisata, wisata nusakambangan
NUSAKAMBANGAN
A. Tentang Nusakambangan
Pulau Nusakambangan yang menyandang predikat poelaoe boei terletak di selatan kota Cilacap dan tidak terlalu sulit untuk dicari di peta. Kita tinggal menelusuri bagian selatan pesisir Pulau Jawa. Pulau ini berbentuk panjang, mirip seekor puma yang sedang berlari dan pulau ini berimpit dengan sebuah semenanjung kecil berbentuk seperti mata bajak yang berupa sebuah kota, yaitu kota Cilacap.
Dilihat dari Pantai Teluk Penyu, Pulau Nusakambangan terlihat sangat dekat dengan kota Cilacap. Memang, letaknya hanya + 10 Km dan untuk perjalanan dari Cilacap ke Nusakambangan hanya memerlukan waktu + 10 menit.
Pulau Nusakambangan terletak membujur dari arah barat ke timur sepanjang + 36 Km, lebarnya bervariasi antara 6 sampai 8 Km. Luas keseluruhan + 210 Km2. topografinya berbukit-bukit dan penuh dengan hutan dan belukar ketinggian 0-50 meter dpl. Curah hujan rata-rata 2530 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 170 hari.
Sebelah utara pulau berbatasan dengan muara sungai Citanduy, Segara Anakan, Bengawan Donan, dan Selat Cilacap. Sebelah timur, selatan, dan barat berbatasan dengan Samudera Indonesia atau Samudera Hindia.
Sebelum menjadi tempat penampungan narapidana, Pulau ini telah berpenduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan. Penggunaan tenaga napi dalam pembuatan benteng pertahanan di Nusakambangan pada 1861 menjadi titik awal masuknya orang-orang hukuman atau perantaian ke pulau ini. Keberhasilan yang dicapai pemerintah Hindia Belanda dalam melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap napi saat itu dipakai sebagai dasar penetapan pulau tersebut sebagai pulau penampungan bagi orang hukuman atau penal colony. Sebelum keputusan diambil, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian lebih dahulu terhadap pulau lainnya, seperti Pulau Nusa Barung di JATIM, Prinsen Eiland di Ujung Kulon, dan Krakatau di Selat Sunda.
Namun, pilihan terakhir tetap tertuju pada Pulau Nusakambangan. Pada 1908, Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan ketetapan bahwa pulau tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai poelaoe boei atau bijzonderestaf gevangenis. Selanjutnya status pengawasan dan pemilikan pulau tersebut diserahkan kepada Raad van Justitie atau Departemen Kehakiman. Selain itu Pemerintah Belanda menggunakan pulau ini sebagai basis Pertahanan dan penduduk dipindahkan ke tempat seperti Kampung Laut, Jojok, dan Cilacap.
Pulau Nusakambangan sejak ditetapkan sebagai poelaoe boei sampai sekarang berstatus kepemilikan dan pengelolaannya berada di bawah Departemen Kehakiman. Sarana dan Prasarana untuk keperluan penduduk seperti air, komunikasi, pendidikan,dll sangat lengkap dan tersedia meski cukup memperihatinkan. Kebutuhan air bersih menggunakan air yang bersumber dari air perbukitan yang disalurkan melalui pipa-pipa ke masing-masing Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan perumahan. Untuk penerangan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Sejak Tahun 2001, PT. Holcim (dulu PT. Semen Nusantara) memberi bantuan listrik ke seluruh LP di pulau ini.
Sarana Transportasinya terbagi menjadi 2 yaitu laut dan darat. Sarana komunikasinya dengan telepon engkel yang berusia lebih dari 50 tahun. Sedang untuk berhubungan ke luar pulau dengan telepon Otomat yang berada di dermaga Wijayapura, Cilacap. Sarana pendidikan untuk anak-anak pegawai tersedia sebuah SD, yaitu SD Tambakreja 05 dengan guru dari Cilacap. Untuk sarana pelayanan kesehatan terdapat sebuah Rumah Sakit, dan juga sarana-sarana lain yang kondisinya cukup baik.
B. Sejarah Nusakambangan
5 Oktober 1705, kerajaan Mataram dan Belanda mengadakan perjanjian. Meski Nusakambangan berada di wilayah kekuasaan Belanda, tetapi sampai 1830 Cilacap masih dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram, dan mrnjadi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta setelah kerajaan Mataram pecah. Sebelumnya, Cilacap disaebut dengan Donan. Pada masa Donan sering terjadiserangan oleh Perompak. Suatu hari tahun 1801 saat para prajurit sedang bercocok tanam, tiba-tiba datang serangan perompak dari Celebes dan Borneo sehingga banyak prajurit yang tewas.
Setelah kejadian itu, Sri Susuhunan Paku Buwono IV kembali mengirim pasukan ke Donan untuk menambah jumlah pasukan. Kemudian dibentuk formasi baru yang membuat para perompak tidak lagi menyerang sejak 1801. pada tahun 1819 pemerintah Belanda menempatkan 30 personel pasukan artilerinya di timur Nusakambangan untuk menguasai Cilacap.
Setelah Perang Diponergoro tahun 1830, Cilacap berhasil dikuasai Belanda dan kemudian tahun 1836 dibangun dua benteng yang diberi nama Benteng Karang Bolong dan Benteng Njappa untuk menghadapi kapal musuh yang akan masuk ke sekitar semenanjung. Tahun 1883 benteng tersebut rusak karena gelombang air pasang akibat letusan Gunung Krakatau dan pada 1908, Nusakambangan ditetapkan sebagai poelaoe boei sehingga seluruh pasukan Belanda ditarik dari tempat itu.
Nusakambangan disebut poelaoe boei setelah dibangun sebuah penjara lagi pada tahun 1910 untuk menampung tahanan Belanda yang dipekerjakan sebagai petani karet. Sebutan poelaoe boei semakin kuat setelah enam penjara baru didirikan sejak 1925 hingga 1950 yang dapat menampung + 7000 orang narapidana.
Pos penjagaan pulau ini menjorok dari pantai ke arah selat berjarak 5 sampai 25 meter dan antara satu dengan lainnya berjarak 2 Km. Pada 1985, Menhan menutup lima dari sembilan LP karena bangunannya semi permanen sudah tak layak pakai. Tahun 1999 penghuni LP ini berumlah 405 orang dengan pegawai pwngawas 354 orang atau dengan rasio 1:1,14.
Kisah pelarian terbesar adalah pada 20 Mei 1982, 34 napi melarikan diri. Tetapi pada 22 Juni 1982, pencarian dihentikan karena senua napi berhasil tertangkap. Dari 34 orang napi yang melarikan diri, 21 orang ditangkap hidup-hidup dan 13 orang mati. Dari 13 orang napi yang mati, 8 orang tertembak di Nusakambangan, 4 orang tertembak di perairan JABAR, dan 1 orang dimakan binatang buas di hutan Nusakambangan. Napi yang mati dan dimakan binatang buas tersebut bernama Max Woworuntu. Mayatnya ditemukan oleh petugas di daerah Slok Maung, sebelah barat LP Karanganyar, Nusakambangan. Tim pencari mulanya menemukan isi perut manusia. Sekitar 50m dari itu tergeletak tengkorak yang setengah bagiannya masih ditutupi daging. Lalu pada hari berikutnya, petugas menemukan semua bagian tubuh yang terpisah-pisah seperti dicabik-cabik binatang buas. Hanya bagianlengan kiri yang tak ditemukan. Petugas memastikan bahwa itu adalah tubuh Max setelah sebuah buku harian lengkap dengan tanda tangannya ditemukan. Hingga kini, Direktorat Jendral Pemasyarakatan masih memandang Nusakambangan sebagai tempat pembinaan terhadap napi kelas berat.
Kontribusi Nusakambangan sangat penting bagi Cilacap, berupa perlindungan untuk daerah Cilacap dari angin besar dan ganasnya ombak laut selatan. Sedangkan untuk aktivitas ekonominya, pulau ini dimanfaatkan untuk pencarian ikan oleh nelayan, dan industri modern seperti Kilang Minyak Pertamina, Pabrik Semen, Penambangan Pasir Besi, dll. Disana juga terdapat perkebunan kelapa mampu berbuah 4000 sampai 5000 butir per bulan, perkebunan pisang cavendish sejak 1996 yang mencakup lahan 200 Ha, dan tambak yang kesemua hal tersebut tidak boleh merusak ekkosistem.
Lebih dari 75 tahun Pulau Nusakambangan merupakan daerah tertutup, tetapi setelah beberapa waktu, pulau ini dibuka untuk wisatawan. Dijadikan tempat wisata karena sebagian besar wisatawan datang ke p[ulau ini karena didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan mengenai segala aktivitas yang terjadi, terutama aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan napi kelas berat. Hal tersebut merupakan sebuah pengalamanyang menarik dan membanggakan untuk dijadikan bahan cerita kepada saudara atau teman yang belum pernah berkunjung ke pulau ini oleh para wisatawan. Beberapa tempat wisatanya antara lain Potensi Keindahan Alam Bahari, berupa Pantai Permisan, Pantai Pasir Putih, Pantai Pasir Gigit, Pantai Karang Bolong, Pantai Karang Bnadung, Pulau Majeti, Segara Aankan, dan Selat Indralaya. Potensi Keindahan Alam Gua, yaitu Gua Ratu, Gua Pasir, Gua Putri, Gua Masingit Sela, Gua Lawa, Gua Salak, Gua Bantar Panjang. Potensi Keindahan Alam Hutan, yaitu Cagar Alam Nusakambangan Barat, Cagar Alam Nusakambangan Timur, Perkebunan Karet, dan Hutan Mangrove.
Selain itu juga memiliki bangunan bersejarah, yaitu Benteng Karang Bolong, Benteng Batu Njappa atau Benteng Klinker, Monumen Artileri, Mercusuar Cimiring, Pemandangan Berambang, dan Pesanggrahan atau Kupel.
Pertanyaan mulai muncul karena Pulau Nusakambangan kini sedang menghadapi berbagai dilema permasalahan. Pulau yang dulunya mengisolasi diri dari dunia luar, kini mulai terbuka. Secara intendif pemanfaatan pulau ini adalah dimanfaatkan sebagai pulau wisata berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman tanggal 24 April 1995 tentang izin pemanfaatan Nusakambangan sebagai daerah wisata.
Akan tetapi dengan keputusan yang tegas mengenai masa depan Nusakambangan maka dilema permasalahan yang ada akan teratasi. Apapun alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, sepanjang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen maka itulah yang terbaik bagi masa depan Nusakambangan.
C. Tempat Wisata dan Legenda yang Ada di Nusakambangan
1. Benteng Karang Bolong
Benteng Karang Bolong terletak di kaki pantai timur laut Pulau Nusakambangan yang dapat dicapai dalam waktu 20 menit dari Dermaga Wijayapura atau dengan menggunakan perahu compreng sekitar 15 menit dari Pantai Teluk Penyu. Benteng yang terletak di kawasan hutan lindung ini dengan luas 6.000 m2 memiliki 3 benteng utama dimana salah satunya adalah benteng yang bertingkat tiga yang mempunyai ruang rapat besar dan dilengkapi dengan meriam.
Karena terdapat meriam di benteng tersebut menyebabkan Benteng Karangbolong disebut benteng artileri. Luas lahan keseluruhan sekitar 6.000 m2 dan pada dinding dilapisi dengan aspal .
Benteng yang terbuat dari bata berlepa dan keseluruhan terdiri 4 lantai yaitu 2 lantai berada di atas permukaan tanah sementara dua lantai berada di bawah permukaan tanah, memiliki sejumlah ruangan-ruangan yaitu ruangan barak prajurit , ruang tahanan, ruangan logistik juga dilegkapi dengan pagar tembok keliling, bastion dengan landasan meriamnya, bangunan pengintai dengan lobang-lobang penembakan, gudang amunisi serta bangunan perlindungan.
Dari Benteng Karang Bolong ini dapat diawasi jalur pelayaran di Samudra Indonesia dan jalur masuk ke Pelabuhan Tanjung Intan, antara Benteng Pendem dengan Benteng Karang Bolong keduanya saling melengkapi dalam hal pengawasan perairan Teluk Penyu .
Fungsi Benteng Karang Bolong oleh tentara Belanda sebagai kutup pertahanan guna menangkal serangan musuh yang datang dari laut atau menyerang kapal laut musuh dan sebagai gudang penyimpan rempah rempah milik Belanda. Benteng Karang Bolong tergolong jenis wisata budaya dan daya tarik wisata monumental sebagian besar bangunannya tertutup pohon-pohon besar.
2. Pantai Pasir Putih
Cocok dengan namanya pasir putih karena pantainya berpasir putih sehingga masyarakat menyebutnya Pantai Pasir Putih. Pantai Pasir Putih salah satu obyek wisata yang ada di sebelah selatan Pulau Nusakambangan tepatnya berada di sebelah timur Pantai Permisan. Pantai Pasir Putih dihiasi dengan berbagai batu karang atau pulau – pulau kecil yang membujur ke timur dihiasi ombak yang sangat dahsyat / ganas sehingga benturan air menghantam batu karang hitam menambah keindahan batu karang.
Untuk menuju Pantai Pasir Putih harus berjalan kaki menelusuri jalan yang sudah dibangun trap – trap dari paving blok sepanjang 600 m dari Pantai Permisan naik ke arah timur dan turun sampai pantai pasir putih dengan jarak 1 km. Gugusan batu karang di Pantai Pasir Putih yang membujur ke timur diselimuti ombak nan putih menambah indahnya panorama alam pantai pasir putih.
Batu – batu tersebut selain menambah keindahan pantai juga sebagai pemecah ombak yang menuju pantai pasir putih sehingga ombak yang ganas bisa dijinakan dan relatif tidak berbahaya.
Dengan pasir pantainya yang putih dan ombak yang cukup bersahabat menambah para wisatawan merasa betah dan senang berlama – lama menikmati keindahan pasir putih. Kelebihan pantai pasir putih masih terdapatnya pohon – pohon yang tumbuh secara alami sehingga menambah sejuk udara pantai dan tidak terganggu oleh teriknya sinar matahari karena bisa berteduh atau naik dahan – dahan pohon sambil menikmati deburan ombak laut selatan.
3. Pantai Rancah Babakan
Terletak diujung paling barat Pulau Nusakambangan yang berjarak 35 km dari dermaga Sodong. Untuk menuju pantai ini melalui alur selat Nusakambangan – Segara Anakan melewati Desa Klaces Kecamatan Kampung Laut. Sepanjang perjalanan melewati 4 LP yang masih berfungsi yaitu LP Batu, Besi, Kembang Kuning dan Permisan serta melewati Kecamatan Kampung Laut yang berada di Klaces dengan pemandangan hutan mangrove di kiri kanan alur sungai dan pemandangan pegunungan serta selat Indralaya.
Pantai Ranca Babakan tergolong pantai yang masih perawan karena belum banyak wisatawan yang berkunjung ke pantai ini, karena memang jalur yang menuju ke pantai belum memadai. Oleh karena itu masih sangat dibutuhkan penanganan pemerintah untuk membuka akses ke pantai ini sehingga dapat menjadi tempat wisata yang mudah untuk dikunjungi oleh wisatawan. Sehingga dapat memberikan pendapatan bagi daerah.
4. Pantai Permisan
Pantai Permisan juga terdapat di Pulau Nusakambangan tepatnya disebelah selatan LP Permisan. Pantai ini masih sangat alami belum banyak tercemari oleh manusia. Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan dan deburan ombak laut selatan akan membawa wiasatawan betah menikmati panorama keindahan pulau-pulau kecil dan batu-batu karang didepan pantai mempunyai nilai tersendiri dibanding pantai wisata lainnya di Cilacap.
Didepan pantai ada batu karang (pulau Kecil) yang mempunyai kenangan tersendiri bagi seorang pejebat negara yaitu Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebelum menjadi Perdana Menteri seorang yang bernama Syahrir pernah berkunjung ke Pantai Permisan, di pantai itu Syahrir mencoba menyebrangi gelombang laut yang saat itu sedang kecil, ia berhasil naik ke batu karang tersebut. Akan tetapi pada saat mau kembali ke pantai datanglah ombak yang sangat besar, sehingga Syahrir bertahan sampai berjam-jam menunggu air surut diatas batu karang. Dengan adanya peristiwa tersebut maka nama Syahrir diabadikan sebagai nama gugusan karang di Pantai Permisan yang oleh sebagian kalangan masyarakat menyebutnya Batu Syahrir .
Selain cerita di atas, jika air surut wisatawan bisa mendaki sejumlah batu karang yang tersembul. Mereka akan menyaksikan berbagai simbol sosial sebagai bukti adanya legenda Raja Pakuan Pajajaran yang mempunyai putri cantik terkena wabah penyakit yang bisa sembuh kalau diobati dengan air mata kuda sembrani, maka sang raja mengirim utusan untuk mendapatkan obat tersebut tetapi selalu gagal yang pada akhirnya sang putri itu sendiri berangkat dan karena kecapaian perjalanan jauh ia beristirahat dan mandi di Pantai Permisan terseret ombak ke tengah laut dan terjepit diantara batu karang dan meninggal dan dari kejauhan hanya kelihatan sebagian anggota badannya tanpa busana maka disitu ada batu karang yang mirip alat kelamin perempuan .
Juga disebut permisan saat ada perompak mau mendarat ke Nusakambangan pantai itu tidak tampak tapi setelah permisi pada Sang Baurekso Pulau Nusakambangan nampak pantai tersebut maka disebut permisan
Pantai Permisan juga merupakan tempat penggodokan para prajurit agar mampu menjaga dan dam membela keutuhan bangsa dan negara dari gangguan apapun baik besar maupun kecil yang kiranya mengganggu kedaulatan. Tekad dan kekokohan prajurit tersebut disimbolkan dengan salah satu atribut (pisau komando) yang ditancapkan atau ditusukan kedalam batu karang sehingga dari pantai tampak pisau komando menancap dibatu karang.
Untuk menuju Pantai Permisan para wisatawan dapat menggunakan kapal penyebrangan atau perahu baik dari Pelabuhan Lomanis atau Pelabuhan Wijayakusuma ke Sodong Nusakambangan kemudian dilanjutkan dengan kendaraan pribadi atau carteran rombongan menuju ke permisan. Selama perjalanan, wisatawan bisa menikmati pemandangan alam yang ada di Pulau Nusakambangan dan bisa singgah dulu di obyek wisata Goa Ratu juga bisa melihat LP Kembang kuning , Batu , Besi dan LP Permisan.
5. Pantai Karang Pandan
Pantai Karang Pandan merupakan salah suatu potensi obyek wisata yang ada di Pantai Timur Pulau Nusakambangan. Pantai Karang Bandung ini masih alami belum begitu banyak dicemari oleh ulah manusia dengan pemandangan yang indah di depan pantai dua buah pulau karang (Pulau Majethi) yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat tumbuhnya kembang Wijayakusuma, ikut menambah keindahan pantai Karang Bandung.
Pantai ini banyak dikunjungi orang pada hari Kamis Wage atau sehari menjelang pelaksanaan Sedekah Laut (Larungan Sesaji) untuk ziarah, tempat ini dijadikan ziarah dengan alasan di pantai ini terdapat beberapa tempat yang dianggap keramat sehingga mereka berkunjung akan lebih banyak mendapat berkah, tempat – tempat keramat diantaranya : Kali Lanang (diambil airnya) yang terletak di bagian timur naik sedikit dari pantai, Batu Meja (Batu Balai) yaitu segumpal batu karang besar yang digunakan sebagai tempat sesaji upacara juga berfungsi sebagai tempat pergelaran serta singgasana.
Untuk menuju pantai Karang Pandan harus menggunakan perahu selama 90 menit atau jalan kaki dari Benteng Karang Bolong Nusakambangan kurang lebih 75 menit. Para peziarah biasanya membawa sesaji yang berupa Jajan Pasar, Buah–buahan, Kembang Telon, Kinang, Kemenyan, Daun Dadapsrep, Kelapa Muda serta beberapa pusaka. Semua sesaji dikumpulkan di atas batu meja, setelah sesaji siap maka sesepuh Nelayan memimpin doa.
6. Legenda Bunga Wijayakusuma
Satu cerita legenda yang cukup terkenal di Indonesia terutama Pulau Nusakambangan adalah tentang Kembang atau Bunga Wijayakusuma. Ceritanya tentang seorang puteri Adipati Bandapati yang memerintah di Kadipaten Bonokeling, bernama Raden Ayu Bnadawati. Ia sangat cantik, molek, berbudi bahasa halus dan sangat lemah lembut sehingga banyak yang ingin memilikinya. Untuk meminang puteri tersebut diadakanlah sayembara yaitu dengan menahan semua kesaktian dan senjata pusaka Adipati Bnadapati. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Raden Pucangkembar yang merupakan putera dari Kyai Ageng Giri. Kemudian Raden Pucangkembarpun menikahi Raden Ayu Bnadawati. Walau sudah bersuami dan memiliki 3 orang anak, Raden Ayu Bnadawati masih dikejar Adipati-Adipati yang lain untuk dijadikan isteri. Akhirnya Raden Ayu Bnadawatipun menjelma sebagai setangkai bunga bernama Bunga Wijayakusuma. Begitu tenarnya legenda Bunga Wijayakusuma, sehingga tahun 1971 seorang tokoh penting negeri ini juga melakukan pemetikan Bunga Wijayakusuma dengan cara yang masih tradisonal.
Di Nusakambangan, luas seluruh cagar alam + 1200,50 Ha yang dibagi menjadi dua bagian karena kegiatan LP di wilayan tersebut. Hewan-hewan penghuni Cagar Alam itu dapat digolongkan menjadi Hewan Liar, Melata, dan Burung juga berbagai tanaman yang tumbuh secara berkelompok.
Meski hidup banyak tumbuhan dan hewan, tetapi disana ada keistimewaan tersendiri yaitu hutan Pohon Klalar di bagian Barat dan Bunga Wijayakusuma di bagian Timur yang membuat orang-orang tidak berani berbuat aneh-aneh karena legenda yang ada di tempat itu. Tetapi walau begitu, penjarahan hutan masih marak terjadi.
7. Cerita tentang Kerajaan Nusatembini
Cerita sejarah tentang Kerajaan Nusatembini mengambil setting di wilayah sekitar Pulau Nusakambangan. Nusatembini diceritakan sebagai sebuah Kerajaan Siluman yang cukup besar. Kerajaan ini memiliki wilayah di sekitar pantai Cilacap hingga pulau Nusakambangan. Keraaan ini memiliki benteng alamiah berupa tanamana bambu hingga tujuh lapis (Baluwarti pring ori pitung sap). Penggambaran benteng alamiah dari pagar bambu lapis tujuh itu dapat ditafsirkan bahwa si pembuat cerita hendak mengatakan bahwa pertahanan kerajaan Nusatembini terebut cukup kuat. Selain itu juga menunjukkan bahwa tanaman Bambu Ori merupakan tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar atau pengamanan bagi masyarakat Cilacap terhadap gangguan keamanan.
Kerajaan Nusatembini dipimpin oleh seorang penguasa wanita (raja putri) berparas cantik bernama Brantarara. Kecantikan sang putri menarik perhatian para penguasa dari kerajaan lain untuk menjalin kerjasama hingga mempersuntingnya sebagai permaisuri. Akan tetapi untuk mempersunting sang putri tidaklah mudah, karena begitu ketatnya penjagaan dan pertahanan. Banyak raja yang gagal hanya sekadar untuk dapat memasuki wilayah istana kerajaan Nusatembini.
Cerita tentang keberadaan penguasa Kerajaan dari kaum hawa ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai simbol tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak politik. Dengan demikian pandangan yang mengangap bahwa dalam budaya Jawa kaum wanita dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria tidak terbukti dalam alam pikiran si pembuat cerita sejarah Kerajaan Nusatembini tersebut. Dalam kebudayaan Cilacap ada nilai yang menganggap bahwa wanita juga memiliki kekuatan memerintah, bahkan dalam cerita itu melampaui kemampuan laki-laki.
Persoalannya adalah kapan sesungguhnya asal cerita Kerajaan Nusatembini ini berasal. Penulis sejarah dan hari jadi Cilacap versi Pemerintah Cilacap mengatakan bahwa Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman pra sejarah. Hal itu katanya dibuktikan dengan adanya peninggalan dua rumpun bambu ori yang merupakan peninggalan benteng Kerajaan Nusatembini. Pada tahun 1970 peninggalan peninggalan yang dipercaya berasal dari masa pra sejarah itu masih ada yang berlokasi di kompleks dermaga Pelabuhan pasir Besi, akan tetapi pada sat ini peninggalan itu sudah hilang.
Menurut hemat kami, cerita tentang Kerajaan Nusatembini memang bukan mengambil zaman Islam, tetapi juga bukan pada masa pra sejarah. Zaman pra sejarah tidak dikenal konsep kerajaan, yang ada hanya Primus Interpares, dan umumnya laki-laki tertua. Konsep kerajaan baru muncul pada masuknya kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa latar belakang sejarah Kerajaan Nusatembini sesungguhnya adalah masa Hindu dan Budha di wilayah Cilacap.
Tafsir bahwa latar belakang cerita tentang Kerajaan Nusatembini Nusatembini adalah Hindu Budha didukung dengan cerita lain yang terkait dengan kerajaan tersebut. Cerita rakyat dalam masyarakat Cilacap menceritakan bahwa di sebelah barat dari Kerajaan Nusatembini adalah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Dalam catatan sejarah, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Hindu yang amat berkuasa di wilayah tatar Sunda. Oleh karena Kerajaan Nusatembini sezaman dengan Kerajaan Galuh, maka dapat dipastikan bahwa cerita tentnag adanya Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman perkembangan Hindu dan Budha.
Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran merupakan kerajaan besar. Berbeda dengan Nusatembini, penguasa Pakuan Pajajaran adalah seorang pria yang gagah berani. Pada masa pemerintahannya ia dicobai Tuhan dengan berkembangnya wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Akan tetapi rakyatnya menjadi sangat menderita karena banyak di antara mereka yang harus kehilangan anggota keluarga akibat ganasnya wabah penyakit tersebut. Raja Pajajaran ini berusaha mencari cara untuk memecahkan masalah yang sedang melanda negerinya. Segala usaha telah dilakukan untuk mengatasi wabah tersebut, tetapi sia-sia. Raja Merasa sedih melihat penderitaan yang menimpa rakyat di seluruh negerinya, dan semakin sedih lagi ketika putra dan putrinya juga terserang penyakit.
Ketika raja sudah hampir putus asa dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda negerinya, datanglah seorang pendeta (wiku). Pendeta tersebut menyampaikan maksud kedatangannya hingga terjadi dialog seperti kutipan berikut :
Pendeta : ”Gusti Prabu junjungan hamba, ampunilah hamba ini akan segala kelancangan hamba menghadap Gusti tanpa panggilan dan dengan segala kemurahan Gusti Prabu, kami mohonkan maaf atas segala kesalahan ini”.
Raja : ”Teramat gembira rasanya aku melihat kedatangan wiku saat ini sebab memang ada sesuatu yang kini tengah merisaukan pikiranku sebagai pimpinan pemerintahan di Kerajaan Pajajaran ini”.
Pendeta : ”Gusti Prabu Junjungan hamba, rasanya hamba memaklumi apa yang tengah Gusti hadapi pada saat ini karena adanya wabah penyakit yang menimpa para kawula Pajajaran. Sampai pula Tuanku Putri saat ini terserang wabah penyakit itu”.
Raja : ”Rasanya memang demikian wikut, bahwa kerisauanku dan kecemasanku masih amat mencekam. Tetapi apakah kiranya bapa wiku dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesemuanya ini?”
Pendeta : ”Gusti Prabu Junjungan hamba, kedatangan hamba ini bermaksud untuk menyampaikan adanya ”wisik” atau ilham yang telah hamba terima. Bahwasanya apa yang terjadi saat ini di lingkungan Kerajaan Pajajaran serta penyakit yang diderita oleh Tuanku Putri junjungan hamba, masih dapat disembuhkan dengan obat apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani”. Adapun obat itu hanya dapat diusahakan dari bagian timur Kerajaan Pajajaran ini. Di arah timur sanalah ada sebuah keratorn yang disebut Nusatembini dan disitulah obat obat tersebut akan didapatkan. Tetapi untuk mencapai daerah itu serta mendapatkannya tidak mudah, sebab lingkungan Kraton Nusatembini adalah sangat gawat. Maka seyogyanya Gusti Prabu Junjungan hamba mengutus para abdi dalem Pajajaran yang terpilih untuk menghadapi ratu putri yang memimpin keraton tersebut.
Haturkanlah segala maksud Gusti untuk memohon apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani” yang menjadi peliharaan sang ratu. Apabila usaha mendapatkan airmata Kuda Sembrani itu berhasil, maka hal itu akan menjadi obat serta tumbalnya (Penolak) Kerajaan Galuh Pajajaran dari segala mara bahaya yang bakal datang.
Raja Pajajaran merspon positif saran-saran dari sang wiku tersebut. Raja tersebut kemudian mempersiapkan diri untu kmenuju Nusatembini. Beberapa orang adipati yang berada di bawah kekuasan Pajajaran yang dianggap mampu ditugasi menuju kerajaan siluman diutus sang raja menuju Nusatembini. Petinggi utusan jatuh pada Patih Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang. Mereka mengerahkan prajurit pilihan agar segala rintangan di perjalanan dapat diatasi.
Setelah persiapan untuk berangkat menuju Kerajaan Nusatembini selesai, maka rombongan prajurit dari Pajajaran tersebut berangkat menuju kerajaan siluman di pantai selatan Cilacap tersebut. Meskipun berasal dari prajurit pilihan, perjalanan menuju Nusatembini ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati alam yang masih ganas berupa hutan belantara dan rawa-rawa yang membentang luas. Dalam situasi alam yang demikian pra prajurit Pajajaran dengan semnagat yang membara menuju Kerajaan Nusatembini agar memperoleh obat penyakit putri raja ” air mata kuda sembrani”.
Para prajurit utusan Pajajran tersebut akirnya sampai di wilayah Cilacap. Ketika sampai di wilayah Nusatembini mereka melihat adanya kekeuatan yan mengelilingi kerajaan tersebut yang amat kuat. Para prajurit berusaha memasuki istana kerajaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi kali ini usaha itu gagal karena adanya benteng rumpun bambu yang berlapis-lapis rapat yang mengellingi Kerajaan Nusatembini ibarat seperti pagar berlapis. Usaha untuk memasuki istana Nusatembini berkali-kali dicobanya, dan ternyata selalu gagal.
Kegagalan berkali-kali untuk memasuki Istana Nusatembini tidak membuat para prajurit Pajajaran putus asa. Dengan semangat membela sang Raja dan negaranya mereka selalu mencari cara untuk dapat memasuki Istana Nusatembini. Adipati Gobong, Adipati Sendang dan Patih Harya Tilandanu jalan lain diluar jalan perang. Mereka bersemedi untuk mendapatkan ilham dan jalan keluar agar dapat memasuki Istana Nusatembini. Setelah beberapa hari bersemedai akhirnya mereka memperoleh petunjuk gaib. Dalam petunjuk gaib itu dikatakan bahwa benteng bambu yang mengelilingi Nusatembini akan dapat dihancurkan denganmenggunakan peluru emas.
Setelah mendapatkan ilham tersebut para prajurit tata sunda utusan raja Pajajaran tersebut mengubah taktik dalam memasuki Istana Nusatembini. Mereka membuat peluru emas yang berasal dari uang emas untuk menghancurkan bambu yang mengelilingi keraton dengan raja perempuan tersebut.
Pembuatan peluru emas dilakukan oleh rombongan prajurit Pajajaran di lokasi yang tidak jauh dari Istana Nusatembini. Mereka singgah di suatu daerah di dekat istana tersebut selama berhari-hari. Selain memproduksi peluru emas, mereka juga mengatur siasat untuk melakukan penyerangan. Di daerah tempat persiapan penyerangan ini dikenal dalam cerita rakyat Cilacap sebagai daerah Donan. Satu daerah tempat Andon (bersinggah).
Setelah rencana penyerangan diatur secara matang, maka pada hari yang telah ditentukan rombongan prajurit Pajajaran melakukan serangan ke Istana Nusatembini. Serangan dilakukan oleh prajurit tangguh dengan menggunakan peluru emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peluru-peluru itu ditembakkan dan berjatuhan dekat atau di bawah rumpun bambu yang membentengi Istana Nusatembini. Para penduduk Nusatembini yang melihat peluru emas berjatuhan di bawah pepohonan bambu berusaha mengambil peluru-peluru yang bernilai ekonomi tinggi pada masa itu. Untuk dapat mengambil peluru tersebut mereka harus menebangi pohon bambu yang berlapis-lapis tersebut.
Prajurit Pajajaran menyadari makna peluru emas ternyata sebagai alat memancing penduduk dalam kerajaan untuk membuka isolasi kerajaan dengan menebang pohon bambu yang menjadi benteng kerajaan. Sedikit demi sedikit akhirnya Prajurit Pajajaran semakin dapat bergerak maju setelah dapat melewati rumpun-rumpun bambu ori yang ditebangi oleh penduduk setempat. Prajurit Pajajaran akhirnya berhasil memasuki dalam istana setelah berhasil melampaui tujuh lapis pagar bambu yang telah habis ditebangi penduduk yang tergiur pada peluru emas yang berjatuhan di bawah pohon bambu.
Cerita tentang adanya peluru emas ini dapat ditafsirkan dua hal yang menyangkut fakta-fakta historis dibalik cerita itu. Pertama, konsep senjata api dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa latar belakang cerita itu adalah pada masa Kerajaan Pajajaran akhir menjelang berkembangnya agana Islam di Nusantara, kemungkinan abad ke-15 dan ke-16. Hal itu dapat dijelaskan karena senjata api diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan kemudian Belanda pada abad-abad tersebut. Kedua, kelemahan suatu negara sehebat apapun akan dapat dipatahkan dengan kekayaan. Emas yang merupakan simbol kekayaan yang bernilai ekoomi tinggi telah menggoda rakyat Nusatembini sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh pasukan asing.
Para prajurit Pajajaran akhirnya dapat memasuki Istana Kerajaan Nusatembini. Mereka bermaksud untuk menangkap sang ratu. Akan tetapi mereka mengalami kesulitan, sebab sang ratu memberikan perlawanan. Melihat bahaya yang mengancam, Raja Putri Nusatembini ini kemudian naik kuda sembrani terbang ke angkasa. Dengan suara lantang sang putri menantang para prajurit pendatang terebut, sembari berucap ”Hai prajurit Pajajaran, tunjukkan kesaktian dan kejantananmu, tangkaplah aku. Kalau dapat menangkap diriku, aku akan tunduk, Kerajaan Nusatembini aku serahkan kepadamu.” Melihat keperkasaan sang ratu, pra prajurit Pajajaran menjadi tercengang dan tidak segera melakukan perlawanan.
Di bagian lain diceritakan bahwa Patih Harya Tilandanu memasuki ruang dalam istana Nusatembini . Ketika sedang menjelajahi ruang-ruang tersebut, ia menemukan seorang wanita yang snagat cantik. Menurut keyakinan masyarakat setempat, putri terebut adalah Ratu Brantarara, Raja Putri Nusatembini. Sang Patih berusaha untuk mendekati wanita tersebut, tetapi belum sampai berhasil mendekat wanita itu lenyap dari pandangan matanya dan berubah menjadi ”golek kencana” (boneka emas). Sang Patih menjadi gemas dan berusaha untuk memegang golek tersebut, tetapi benda itu melejit dan mengenai tubuh sang patih hingga terjatuh. Boneka itu mengeluarkan warna berkilau yang menyebabkan sang patih mengalami kebutaan. Dengan adanya peristiwa itu, maka usaha utusan Pajajaran untuk mendapatkan air mata kud asembrani sebagai obat penyembuh putri raja mengalami kegagalan. Akan tetapi paa prajurit Pajajaran juga tidak berani kembali pulang ke Pajajaran dengan tangan hampa karena takut ancaman hukuman yang berat akibat kegagalannya.
Para prajurit Pajajaran kemudian menetap di daerah Nusatembini, termasuk Patih Harya Tilandanu. Bahkan Patih Harya Tilandanu ini meninggal dunia di Cilacap dan dimakamkan di Gunung Batur. Cerita Rakyat Cilacap mengatakan bahwa makamnya di desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Adipati Gobog juga menjadi penghuni menetap di wilayah Nusatembini. Mereka meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan makam Adipati Gobog. Lokasi makam itu sebelah selatan jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dengan pasar seleko. Nama Adipati Gobog sempat diabadikan menjadi nama jalan, sebelum berubah menjadi jalan Sudirman. Sementara itu Adipati Sendang, makamnya di Desa Donan.
Sumber : Buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Tinggalkan sebuah Komentar
November 1, 2009
SERAT WULANGREH
Filed under: naskah kuno — pendekarjawa @ 6:33 pm
Tags: naskah, naskah kuna, naskah wulangreh, serat, serat wulangreh, wulangreh
PUPUH I
DHANDHANGGULA
Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
Lamun ana wong micara kaki, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
Angel temen ing jaman puniki, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
PUPUH II
K I N A N T H I
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
Dadiya lakuniraku, cegah dhahar lawan guling, lawan ojo sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.
Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari.
Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil, yen pantes raketana, darapon mundhak kang budi
Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh durjana, tan wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep akeh bongsa, nora wurung dadi maling.
Sanadyan nora melu, pasti wruh lakuning maling, kaya mangkono sabarang, panggawe ala puniki, sok weruha gelis bisa, yeku panuntuning iblis.
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.
Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor dipun bucal, unbag gumunggung ing dhiri, obrol umuk kang den gulang, kumenthus lengus kumaki.
Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku lambanging waong ala, nom-noman adoh wong becik, emoh angrungu carita, kang ala miwah kang becik.
Cerita kang wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener lan becik, tindak bener lan kang salah, kalebu jro caritareki, mulane aran carita, kabeh-kabeh den kawruhi.
Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.
Ingkang becik kojahipun, sira anggawa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki.
Akeh wong kang bisa muwus, nanging den sampar pakolih, amung badane priyangga, kang den pakolihaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.
Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana amemedha, angrasa pinter ngluwihi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes dipun cedhaki.
Singakna den kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen open nora layak, yen sira sadhinga linggih, nora wurung katularan, becik singkiorana kaki.
Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lan den wedi mring wong tuwa, ing lair prapto ing batin, saunine den estokna, ywa nambuh wulang kang becik.
PUPUH III
G A M B U H
Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kelantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa katutuh kapatuh pan dadi awon.
Aja nganti kebanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur kojur sayekti tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos.
Pitutur bener iku, sayektine kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik wurukipun, iku pantes sira anggo.
Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang, kidang adigung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati samyoh.
Sikidang umbagipun, angendelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angendelken gung ainggil, ula ngendelaken iku, mandine kalamun nyakot.
Iku upamanipun, aja ngendelaken sira iku, tukang Nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digung, ing wasana dadi asor.
Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon.
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngatiati, den kawang-kawang barang laku, den waskitha solahing wong.
Dening tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngedelken upase mandos.
Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang ngunggung, wekasane kajalomprong.
Kumprung wong pengung bingung, wekasane lali nora eling, yen den gunggung katone muncu-muncu, wong pengung saya dadi, kaya wudun meh mencothot.
Ing wong kang anggunggung, mung sepele iku pamrihipun, mung warege wadhuke klimising lathi, lan telese gondhangipun, rerubo alaning uwong.
Amrih wareke iku, yen wus warek gawe nuli gawe umuk, kang wong akeh kang sinuprih padha wedi, amasti tanpa pisungsung, adol sanggap sakehing wong.
Yen wong mangkono iku, nora pantes pedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedhoplok.
Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh wong nggunggung, kang wus weruh amelengos.
Aja nganggo sireku, kalakuwan kang mangkono iku, nora wurung cinirenen den titeni, mring pawong sanak kang weruh, nora nana kang pitados.
PUPUH IV
P A N G K U R
Kang sekar pangkur winarna, lelabuhan kang kanggo ing wong urip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ta ing tata krama, den kaesthi siyang ratri.
Deduga lawan prayoga, myang watara reringa aywa lali, iku parabot satuhu tan kena tininggala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku angucap meneng myang nendra, duga-duga aja kari.
Miwah ta sabarang karya, ing prakara gedhe kalawan cilik, papat iku datan kentun, kanggo sadina-dina, rina wengi neng praja miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambekan, papat iku aja lali.
Kalamun ana manungsa, tan anganggo ing duga lan prayogi, iku watake tan patut, awor lawan wong kathah, degsura ndaludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak nora wurung neniwasi.
Pan wus watake manungsa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna mininipun, pan dadi panengeran ingkang pinter kang podho miwah kang luhung, kang sugih lan kang melarat, tanapi manungsa singgih
Tinitik solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawas ginrotan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, datan amindho gaweni.
Ginulang sadina-dina, wewekane ing basa lan basuki, ing jubriya-kibiripun, sumungah lan sesongaran, mung sumendhe sakarsanira Hyang Agung, ujar sirik kang rineksa, kautaman ulah wadi.
Ing masa mengko pan nora, kang katemu laku basa basuki, ingkang lumrah wong puniku, dhengki srei lan dora, iren meren pisastene pan kumingsun,sasolahe tan prasaja, jail mutakil basiwit.
Alaning liyan den andhar, ing becike liya kang den simpeni, becike dhewe ginunggung, kinarya pasamuan, tan rumasa alane dhewe ngandhukur, wong mangkono wewatekny, nora pantes den pedhaki.
Iku wong durbala murka, nora nana mareme jroning ati, sabarang karepanipun, sanadyan wus katekan, arep maneh nora marem saya mbanjur, luwamah lawan amarah, iku kang den tuti wuri.
Ing sabarang solah tingkah, ing pangucap tanapi nyang alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadi.
Aja nedya katempelan, watek ingkang tan becik tinutwuri, watek rusuh nora urus, tunggal lawan manungsa, dipun sami anglabuhi kang apatut, parapan dadi tuladha, tinula mring wong kang becik.
Aja lunyu lumur genjah, angrong prasanakan nyumur gumuling, ambubuti arit puniku, watak kang tan raharja, pan wong lunyu nora kena dipun enut, monyar-manyir tan antepan, dela lemeran puniku.
Para panginan tegesnya, genjah iku cecegan barang kardi, angrong prasanak liripun, karem ulah miruda, mring rabine sadulur miwah bebatur, tuwin sanak prasanakan, sok senenga dan ramuhi.
Nyumur guling punika, ambelawah datan duwe wewadi, nora kene rubung-rubung, wadine kang den urap, mbuntut arit punika pracekanipun, apener neng pangarepan, nggarretel dumunung wuri.
Sabarang kang dipun ucap, nora wurung mung plehe pribadi, iku lelabuhan patut, aja nedya anelad, ing wateke kangnem prakoro punika, kang sayogya ngupayoa, anglir mastimbul ing warih.
PUPUH V
MASKUMAMBANG
Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen den nuta.
Apan koyo mangkono watekanneki, sanadyan wong tuwa yen duwe watak tan becik, miwah ing tindak prayoga.
Aja sira niru tindak kang tan becik, sanadyan wong liya, lamun pamuruke becik, miwah ing tindak prayoga.
Iku pantes yen sira tiruwa kaki, miwah bapa biyung, amuruk watek kang becik, kaki iku estokena.
Wong tan manut tuture wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing donya tumekeng akhir, tan wurung kasurang-surang.
Maratani mring anak putu ing wuri, den padha prayitna, aja ana kang kumawani, ing bapa tanapi biyang.
Ana uga etang etangane kaki, lelima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lelima punika.
Ingkang dening rama iku kaping kalih, marang maratuwa, lanang wadon kaping katri, lan marang sadulur tuwa.
Kaping pat marang guru kang sayekti, sembah kaping lima marang Gustinira yekti, pacincene kawruhana.
Pramila rama ibu den bekteni, kinarya jalaran, anane badanireki, kinawruhan padhang hawa.
Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing bating saking Hyang Widdhi, milane wajib sinembah.
Pan kinarsakake marang ing Hyang Widdhi, kinarya lantaran, ana ing dunya puniki, nyalaki becik lan ala.
Saking ibu rama margane udani, miwah maratuwa, lanang wadon den bekteni, aweh rasa ingkang nyata.
Sajatine rasa kang mencarke wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa.
Pan sinembah gegantining rama ugi, pan sirnaning wong tuwa, sadulur tuwa gumanti, inkang pantes sira tuta.
Iba warah wuruke ingkang prayogi, sembah kang kaping papat, marang ing guru sayekti, marmane guru sinembah.
Kang pituduh marang marganing ngaurip, tumekeng antaka madhangken petenging ati, mbeneraken marga mulya.
Wong duraka ing guru abot sayekti, mila den prayitna, minta sih siyang ratri, ywa nganti suda sihira.
Kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti kang Murba, ing pati kalawan urip, paring sandhang lawan pangan.
Wong neng dunya wajib manuta mring Gustlawan para lurah, sapratingkahe den esthi, aja dumeh wis awirya.
Nora putra santana wong cilik, pan padha ngawula, pan kabeh namani abdi, yen dosa kukume padha.
Yen rumasa putra santana sireki, dadine tyasira angenira sayekti, tan wurung anemu papa.
Angungasken putra sentananing Aji, iku kaki aja, wong suwita nora becik, kudu wruh ing karsanira.
Yen tinuduh saking Sang Maha Narpati, barang pituduhnya, poma estokna sayekti, karyanira sungkemana
Aja menceng saprintahe sang siniwi, den pethel aseba aywa malincur ing kardi, lan aja ngepluk sungkanan.
Luwih ala alane ing wong ngurip, wong ngepluk sungkanan tan patut ngawuleng Gusti, ngengera sepadha-padha.
Nadyan ngenger neng biyungira pribadi, yen karya sungkanan nora wurung den srengeni, yen luput pasti pinala.
Apa kaya mangkono ngawuleng Gusti, kalamun leleda, tan wurung bilahi, ing wuri aja ngresula.
Pan kinarya dhewe bilahinireki, lamun tan temene, barang pakaryane Gusti, lahir batin ywa suminggah.
Apa Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa kekasih, pan mung bener agemira.
Kukum adil pan mung iku kang kaesthi, mulata padha den rumeksa Gusti, endi lire wong rumeksa.
Dipun gemi nastiti lan ngati-ati, gemi mring kagungan, ing Gusti ywa sira wani, anggegampang lawan aja.
Wani-wani nuturken wadining Gusti, den bisa rerawat, ing wewadi sang siniwi, nastiti barang parentah.
Ngati-ati ing rina kalawan wengi, ing rumeksanira, lan nyandhang karsaning Gusti, Duduke wuluh kang tampa.
PUPUH VI
DUDUK WULUH
Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep karyanipun setya tuhu marang Gusti, dipun purut sapakon.
Apan Ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahaken hukum adil, pramila wajib den emut, sapa tan anut ing Gusti, mring parentahe Sang Katong.
Aprasasat batali karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, sapirsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.
Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur baya aja ngabdi, angur ngidunga karuhun, aja age-age ngabdi, yen durung eklas ing batos.
Ngur ngidungan bae nora ana pakewuh, lan nora nana kang ngiri, mungkul tutug karepipun, nora susah tungguk kemit, sarta seba lurahe nganggo.
Nanging iya abote wong ngidung iku, keneng patrol pinggir margi,lamun nora patrol nglurung,
keneng lenga pendhak sasi,katru lurahe sabotol.
Lan yen ana tetontonan aneng lurung,kemul bebede sasisih,saha mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris,andhodhok pinggiring bango.
Parandene jroning tyas kaya tumenggung, mengku bawat Senen Kemis, mankono ambeki reku, nora kaya wong ngabdi, wruh plataraning Sang Katong.
Lan kelingan sarta ana aranipun, lan ana lungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipun pakeling, mulane pinardi katong.
Samubarang ing karsaning Sang Prabu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, lamun wong kang padha ngabdi, panggaweyane pan seyos.
Kaya iku bopati kliwon panewu, luwin mantri lawan miji, panglaweyan miwah pajang, tuwin kang para prajurit, kang nambut.
Kabeh iku kuwajiban sebanipun, ing dino kang amarengi, wiyosanira sang Prabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.
Yen kang lumrah yen karep seba wong iku, nuli ganjaran den incih, lamun nora yen tan nuli mutung, iku laku sewu sisip, yen wus mangerti ingkang wong.
Tan mangkono etunge kang wus sumurup, yen iku nora pinikir, ganjaran pan wus rumuhun mung amamrih sihing Gusti, winales ing lair batos.
Setya tuhu barang saprentah manut, ywa nglegani karseng Gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah aneng jaladri, darma lumampah sapakon.
Dening beja cilaka utawa luhur, asor luhur wus pasti, ana ing bebadanira, aja sok anguring uring, Gusti nira inggih Sang Katong.
Mundhak ngakehaken ing luputireku, mring Gusti tuwin Hyang Widdhi, dening ta sabeneripun, temen pasti lawan takdir, mring badan tan kena megoh.
Tulisane lokhil makful kang runuhun, pepancene kang wus pasti, tan kena owah sarambut, tulise badanireki ywa ana mundur sapakon.
PUPUH V
D U R M A
Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.
Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.
Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.
Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.
Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.
Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.
Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih waonan,
den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.
Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono tindakira,
yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.
Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen becikira,
aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.
Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi pandirangan,
matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.
Aja gelem aja mada nora bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan, den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.
Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.
PUPUH VI
WIRANGRONG
Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira.
Kudu golek masa ugi, panggonan lamun miraos, lawan aja age sira muwus, durunge den kaesthi, aja age kawedal, yen durung pantes lan rowang.
Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara.
Lan welinge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan.
Den padha gemi ing lathi, aja ngakehke pepisoh, cacah cucah erengan ngabul-abul, lamun tan lukani, den dumeling dosanya, mring abdi kang manggih duka.
Lawan padha den pakeling, teguhna lahir batos, aja ngalap randhaning sedulur, sanak miwah abdi, karsa rewang sapasang, miwah maring pasanakan.
Gawe salah graitaning, ing liyan kang sami anom, nadyan lilaa lanangipunkang angrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
Gawe salah graitaning, ing liyan tan sami anom, nadyan lilaa lananganipun, kang ngrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
Tan wurung dipun cireni, ing batin ingaran rusoh, akeh jaga-jaga jroning kalbu, arang ngandel batin, ing tyase padhasuda, pangandele mring bendara.
Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakwan iku akeh pun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.
Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga.
Iya upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadawa, gegetun patang warsa, padha lan ilang saleksa.
Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggegawe ugi, gegadhen pan tumanggal, ulate teka sumringah.
Dene wong durjana ugi, nora ana den batos, rina wengi mung kang den etung, duweke liyan nenggih, dahat datan prayoga, lamun wateke durjana.
Dene bebotoh puniki, sabarang pakaryan lumoh, lawan kathah linyok para padha, yen pawitan enting
tan wurung anggegampang, ya marang darbeking sanak.
Nadyan wasiyating kaki, nora wurung dipun edol, lamun menang endang gawe angkuh, pan kaya bopati, wewah tan ngarah-arah, punika awoning bangsat.
Kepatuh pisan memaling, tiniteran saya awon, apan boten wonten panedinipun, pramilane sami, sadaya nyinggahana, anggegulang ngabotohan.
Dene ta wong akng madati, sesade kemawon lumuh, amung ingkang dados senengipun, ngadep diyan sarwi, linggih ngamben jejegang, sarwi leleyang bebuden.
Yen leren nyeret, netrane pan merem karo, yen wus ndadi awake akuru, cahya biru putih, njalebut biru toya, lambe biru untu petah.
Beteke satron lan gambir, jambe suruh arang wanuh, ambekane sarwi melar mingkus, atuke anggigil, jalagra aneng dhadha, tan wurung ngestop boliro.
Yen mati nganggo ndalinding, suprandene npra kapok, iku padha singgahana patut, ja ana nglakoni, wong mangan apyun ala, urpe dadi tontonan.
Iku kabeh nora becik, aja na wani anganggo, panggawe patang prakara iku, den padha pakeling, aja na wani nerak, kang wani nerak tan manggih arja.
Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum, sajeng tanpa masa iku, dadi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala.
Lan aja karem sireki, ing wanodya ingkang awon, lan aja mbuka wadi siraku, ngarsaning pawestri tan wurung nuli corah, pan wus lumprahing wanita.
Tan bisa simpen wewadi, saking rupake ing batos, pan wus pinanci dening Hyang agung, nitahken pawestri, apan iku kinarya, ganjaran marang wong priya.
Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dapur, yen bakale becik, den anggo weh manfaat, kaya Pucung lan kaluwak.
PUPUH VII
P U C U N G
Dipun sami marsudi ing budinipun, weweka den awas, aja dumeh bisa angling, den apantes masa kalane micara.
Nadyan namung sakecap yen nora patut, prenah ing wicara, sadurunge den kaesthi, awasane semune rewang alenggah.
Lawan aja sok metua wong celathu, aneng pasamuwan, ora pantes kang kawiji, ora ana kang kasimpen ing wardaya.
Wicara kang kawetu aja kabanjur, nganggowa prayoga, arahen kang ngati-ati, yen wus melu nora kena tinututan.
Milanipun den prayitna wong celathu, aja sok supata, pan dadi regeding urip, yen micara larangana ngucap tobat.
Iku dadi cilakane ing uripmu, poma-poma padha, den gemi wedaling lati, masa mangke supata ginawa dinan.
Akeh tiru pangucap saru rinungu, anut ukaning tyas, tan ana kang angukumi, ukuming Hyang kinurangan sandhang pangan.
Lawan aja terocoh sugih pepisuh, ngucap cacah cucah, anyenengi batur sisip, yen duduka den dumeling sisipira.
Iku padha den teguhana den kukuh, lawan aja sira, angalap randhaning abdi, miwah sanak kanca satunggal sapangan
.Gawe salah graita kang padha ngrungu, sanadyan lilaa, iya kang anduwe rabi, sanakira ilang pitayaning mana.
Nora wurung sinebut kalamun rusuh, batur ira padha, suda pangandeling batin, mring bandara masa kuranga parawan.
Lawan aja cacad ingkang luwih agung, pan patang prakara, ingkang dingin wong madati, pindho botoh ping telune wong durjana.
Kaping pate wong budi saudagar tambah, sabarang prakara, mung mungkul suka lan sugih, rina wengi mung bathine kang den etang.
Lumuh kalong tur wus nyekel reyal satus, kalonge sareyal, gegetune sangang sasi, durung marem yen durung simpen saleksan.
Mung sukane yen ana dhedhayoh muncul, nggawa gandhen emas, anenembung utang dhuwit, sumarangal ulate teka sumringah.
Wong durjana kang kaesthi siang dalu, mung wong sugih arta, kang den incih den malingi, luwih ala-alane budi durjana.
Botoh iku sabarang panggawe lumuh, para padu dura, lamun pawitane enting, ora wurung nggegampang duweking sanak.
Nora etung wasiyate kaki buyut, tan nganggo den eman, barang wesi tumbak keris, nora wurung ingedol wataking bangsat.
Lamun menang angkuhe kaya wong agung, belaba aloma, tan anganggo ngeman picis, nora nganggo kira-kira weweh sanak.
Dene lamun kabutuh tanwurung nguthuh, mring tetangganira, yen kalimpe denmalingi, mula aja karem nggegulang botohan.
Dene yen wong madati keset tur angkuh, barang gawe sungkan, kang dadim kareming ati, ngadhep diyan alungguh sambi jejegang.
sarta nyekel bedutane den elus-elus, angedhep pangeran, leren nyered banjur dhidis, suwe-suwe matane rem-erem ayam.
Lamun ana rewange wong nyeret iku, ingkang karujukan, crita cinrita pra gaib, para rasa sastrane ingkang rinasa.
Sira ingkang tyas supaya akeh wong ngrungu, andangi sabarang, nora nganggo wigah-wigih, nadyan kalah diakali pasti menang.
Suprihipun anaa wong aweh candu, sing wong kekurangan, pikir peteng susah ati, suka bungah adhangan akale ndara.
Yen wus ndadi nyerete awake kuru, mesem ulatira, njambut wadi saking warih, lambe biru untu putih arang nginang.
Tenmenipun satronjambe gambir suruh, injet lan mbakonya, kinira yen wedi getih, tan angandel puniku mewani cahya.
Nyeret lawas ambekane melar mingkus, jelagra neng dadha, watuke saya gumugil, yen agering ndalinding metu bolira.
Iya iku alane wong mangan apyun, uripira dadya, tontonan padhaning jalmi, singgahana wewaler telung prakara.
Ana maning wewaler aja sok wuru, nora nganggo masa, endi lirira puniki, nginum sajeg puniku watake ala.
Yen amendem ilang prayitnaning kalbu, tan ajeg pikirnya, sabarang angrasa wani, tinemenan wekasane dadi ala.
Lawan aja karem mring wanita ayu, kang ala anggepnya, lan aja mbukak wewadi, mring ngarsaning wanita tan wurung corah.
Sampun lumrah ing wanita datan brukut, asimpen raharja, saking rupake ing batin, apan uwus pinanci dening Hyang Suksma.
Nitahaken pawestri pan kinaryeku, ganjaraning priya, kabeh padha den nastiti, mring pitutur sayekti kudu prayitna.
Aja dumeh pitutur kang tanpa dapur, yen becik bakalnya, den anggowa manfaati, aja kaya Pucung kalawan kaluwak.
Ing ngandhap punika inkang aslinipun sampun kasekaraken Pucung 22 pada sekar.
PUPUH VIII
P U C U N G
Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah pisah.
Den budiya kepriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga.
Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar siji-siji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang.
Aja kaya sadulur memanise dipun runtut, oja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu katon prayoga.
Abot enteng wong duwe sanak sadulur, ji tus tandhingira, yen golong sabarang pikir, kacek uga kang tan duwe sanak kadang.
Luwih abot wong duwe sanak sadulur, enthenge yen pisah, pikire tan dadi siji, abotipun yen sabiyantu ing karsa.
Lamun bener apinter pamomonganipun, kang ginawa tuwa, aja nganggo abot sisih, dipun sabar pamengku ing sentana.
Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa nenom aja beda traping karya.
Kang saregep kalawan ingkang malincur, iku kawruh ana, sira alema kang becik, ingkang malincur den age bendanana.
Datan mari bebendon nggone malincur, age patrapana, sapantese dosaneki, mring santara darapon dadi tuladha.
Nadyan iya wong cilik pasti piturut, kang padha ngawula, dimen padha wedi asih, pan mangkono lakune wong dadi tuwa.
Den ajembar anggonira amangku, den pindho sageta, tyase amot ala becik, mapan ana pepancene sowang-sowang.
Pan sadulur tuwa wajibe pitutur, mring kadang taruna, kang anom wajibe wedi, dipun manut tuture sadulur tuwa.
Kang tinitah dadi anom aja masgul, ing batin ngrasaa, saking karsaning Hyang Widdhi, yen masgula ngowai kodrating Suksma.
Nadyan bener yen wong anom dadi luput, dene ingkang tuwa, den kayu banyu ing beji, awening tingale aja sumunar.
Lan maninge pan ana pituturingsun, yen sira amaca, sabarang layang den eling, aja pijer ketungkul ngelingi sastra.
Caritane ala becik dipun enut, nuli rasa kena, carita kang muni tulis, den karasa kang becik si ra a- nggawa.
Ingkang ala rasakena dadi luput, supaya tyasira, weruh ing ala lan becik, ingkang becik wiwitane kawruhana.
Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi
ing wekasanipun teka dadi ala.
Ing sabarang prakaran dipun kadulu, wiwit wekasanya, bener luput den atiti, ana becik wekasane dadi ala.
Dipun weruh iya ing kawulanipun, lan wekasanira, puniku poma den ana, ala dadi becik ing wekasanira.
Ewuh temen babo wong urip puniku, apan nora kena, kinira-kira ing budi, arang mantep wasise basa raharja.
PUPUH IX
M I J I L
Pomo kaki padha dipun eling, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, luruh sarta wasis, samubarang tanduk.
Dipun nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasona yen durung masane, kekendelan aja wani manikis, wiweka ing batin, den samar ing semu.
Lan dimantep mring panggawe becik, lawan wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wis tinitah marang Hyang Widhi, ing badan punika, wus pepancenipun.
Ana wong narima ya titahing, mapan dadi awon, lan ana wong narima titahe, wekasane iku dadi, becik, kawruhana ugi, aja seling surup.
Yen wong bodho datan nedya ugi, atakon tetiron, anarima titah ing bodhone, iku wong narima nora becik dene ingkang becik, wong narima iku.
Kaya upamane wong angabdi, marang sing Sang Katong, lawas-lawas ketekan sedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaneng, ing tyas kang panuju.
Nuli narima tyasing batin, tan mengeng ing Katong, rumasa ing kani matane, sihing gusti tumeking nak rabi, wong narima becik kang mangkono iku.
Nanging arang iya wong saiki, kang kaya mangkono, Kang wus kaprah iyo salawase, yen wis ana lungguhe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.
Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan eling ing mula mulane, witing sugih sangkane amukti, panrimaning ati, kaya anggone nemu.
Tan ngrasa kamurahaning Widdhi, jalaran Sang Katong, jaman mengko ya iku mulane, arane turun wong tuwa tekweng, kardi tyase Sariah, kasusu ing angkuh.
Arang nedya males sihing Gusti, Gustine Sang Katong, lan iya ing kabehing batine, sanadyan narima ing Hyang Widdhi, iku wong tan wruh ing, kanikmatanipun.
Wong tan narima pan dadi becik, tinitah Hyang Manon, iku iyo rerupane, kaya wong ingkang ngupaya ilmi, lan wong nedya ugi kapintaranipun.
Iya pangawruh kang den senengi, kang wus sengsem batos, miwang ingkang kapinteran dene, ing samubarang karya ta uwis, nora kanggo lathi, kabeh wus kawengku.
Uwis pinter nanging iku maksih, nggonira pitados, ing kapinterane ing undhake, utawa unggahe kawruh yekti, durung marem batin, lamun durung tutug.
Yen wong kurang panrimo ugi, iku luwih awon barang gawe aja age-age, anganggowa sabar sarta ririh, dadi barang kardi resik tur rahayu.
Lan maninge babo dipun eling, ing pituturingong, sira uga padha ngemplak emplak, iya marang kang jumeneng Aji, ing lair myang batin, den ngarsa kawengku.
Kang jumeneng iku ambawani, karsaning Hyang Manon, wajib padha wedi lan batine, aja mamang parintah ing Aji, nadyan enom ugi, lamun dadi Ratu.
Nora kena iya den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya priye nggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu.
Nanging kaprah ing masa samangkin, anggepe angrengkoh, tan rumangsa lamun ngempek empek, ing batine datan nedya eling, kamuktene iki, ngendi sangkanipun.
Lamun eling jalarane mukti, pasthine tan mengkuh, saking durung batin ngrasakake, ing pitutur engkang dingin-dingin, dhasar tan paduli, wuruking wong sepuh.
Dadine sabarang tindakneki, arang ingkang tanggon, saking durung ana landhesane, arip crita tan ana kang eling, elinge pribadi, dadi tanpa dhapur.
Mulanipun wekasingsun iki, den kerep tetakon, aja isin ngatokken bodhone, saking bodho witing pinter ugi, mung Nabi sinelir, pinter tanpa wuruk.
Sabakdane tan ana kadyeki, pinter tanpa takon, apan lumrah ing wong urip kiye, mulane wong anom den taberi, angupaya ilmu pandadi pikukuh.
Kacek uga wong kang tanpa ilmu, sabarange kaot, dene ilmu iku ingkang kangge, sadinane gegulangan dingin, pan sarengat ugi, parabot kang perlu.
Ilmu sarengat pan iku dadi, wadhah kang sayektos, kawruh tetel wus kawengku kabeh, kang sarengat kanggo lair batin, mulane den sami, brangta maring ilmu.
PUPUH X
ASMARANDANA
Padha netepana ugi, kabeh parentahing syara, terusna lair batine, salat limang wektu uga, tan kena tininggala, sapa tinggal dadi gabug, yen misih remen neng praja.
Wiwitane badan iki, iya saking ing sarengat, anane Manusa kiya, rukune Islam lelima, tan kerja tininggala, pan iku parabot agung, mungguh uripe neng donya.
Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apantosa kuwasane, ning aja tan linakwan, sapa tan ngalakanana, datan wurung nemu bebendu, mula padha estokeno.
Parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh marang Nabiu’ullah, ing Dalil Khadis enggone, aja padha sembrana, rasakna den karasa, Dalil Khadis rasanipun, dimene padhang tyasira.
Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam.
Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman, banget paes neng dunya, siang dalu dipun emut, wong urip manggih antaka.
Lawan aja angkuh bengis, lengus lanas calak lancang, langar ladak sumalonong, aja ngidak aja ngepak, lan aja siya-siya, aja jahil dhemen padu, lan aja para wadulan.
Kang kanggo ing masa iku, priyayi nom kang den gulang, kaya kang wus muni kowe, kudu lumaku kajinan, pan nora nganggo murwat, lunga mlaku kudhung sarung, lumaku den dhodhokana.
Datanpa kasur Sayekti, satriya tan wruh ing tata, ngunggulaken satriyane, lamun karem pinondhokan, anganggowo jajaran, yen niyat lung anawur, aja ndhodhoken manusa.
Denene wedi sarta sih, anggonira mengku bala, miwah yen angran ing gawe, den abisa minta-minta, karyane prawadyanira, ing sagawe gawenipun, ing karyanira prayoga.
Sarta kawruhana batin, gegantunganing pratopan, darapon pethel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya ywa, dumeh isih sireku, lamun leda patrapana.
Nadyan sanak antaneki, yen leda hya pinatrapan, murwaten lawan dosane, darapon padha wediya, ing wuri awya padha, angladeni kayaniraku, aja pegat den warata.
Lan meninge suta mami, mungguh anggering kawula, den suka sukur ing batos, aja pegat ing panedha,
maring Kyang kang misesa ing, rahina wenginipun, mulyaning Nagara kita.
Iku uga dipun eling, kalamun mulyaning praja, mufa’ati mring wong akeh, ing rina wengi tan pegat, nenedha mring Pangeran, luluse kraton Sang Prabu, miwah arjaning negara.
Iku wewalesing batin, mungguh wong suwiteng Nata, ing lair setya tuhu, kalawan nyadhang ing karsa, badan datan nglenggana, ing siyang dalu pan katur, atur pati uripira.
Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya setiya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna bathinipun, ing tyas datan pangrasa.
Awite dadi priyayi, sapa kang gawe ing sira, tan weling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba, mulane ing batinipun, pangetunge lir wong dagang.
Mung mikir gelise mulih, rerubanira duk dadya, ing rina wengi ciptane, kepriye lamun bisaa, males sihing bandara, lungguhe lawan tinuku, tan wurung angrusak desa.
Pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota, picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa, polahe salang tunjang, padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga.
Poma padha dipun eling, nganggo syukur lawan lila, nrimaa ing pepancene, lan aja amrih sarama, mring sedya nandhang karya, lan padha amriha iku, harjane kang desa-desa.
Wong desa pan aja ngesthi, anggone anambut karya, sesawah miwah tegale, nggaru maluku tetapa, aja den owah dimene, tulus nenandur jagung, pari kapas lawan jarak.
Yen desa akeh wongneki, ingkang bathi pasthisira, wetune pajeg undhake, dipun reh pamrihira, aja kongsi rekasa, kang wani kalah rumuhun, kurang pajeg srantekena.
Lamun tan mangkono ugi, karem masesa wong desa, salin bakul pendhak gawe, pamitunge jung sacacah, bektine karo belah, temahan desane suwung, pyayine jaga pocetan.
Poma aja anglakoni, kaya pikir kang mangkono, satemah lingsem dadine, den sami angestakena, mring pitutur kang arja, nora cacad alanipun, wong nglakoni kebecikan.
Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembrana, ewuh yen nuruta, malah mudhar pitutur, pangrasane pan wus wignya.
Aja na mangkono ugi, yen ana wong kang carita, rungokena saunine, ingkang becik sireng gawa,bawungen ingkang ala, anggiten sajroning kalbu, ywa nganggo budi nonoman.
PUPUH XI
S I N O M
Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning jalmi, amiguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere den alingi, bodhone didokok ngayun, pamrihe den inaa, mring padha padhaning jalmi, suka bungah den ina sapadha-padha.
Ingsun uga tan mangkana, baliku kang sun alingi, kabisan sun dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune angluwihi, nanging tenanipun cubluk, suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tanpa ngrasa prandene sugih carita.
Tur ta duk masihe bocah, akeh temen kang nuruti, lakune wong kuna-kuna, lelabetan kang abecik, miwah carita ugi, kang kajaba saking embuk, iku kang aran kojah, suprandene ingsun iki, teko nora nana undaking kabisan.
Carita nggonsun nenular, wong tuwa kang momong dingin, akeh kang padha cerita, sun rungokna rina wengi, samengko isih eling, sawise diwasa ingsun, bapa kang paring wulang, miwah ibu mituturi, tatakrama ing pratingkah karaharjan.
Nanging padha estokana, pitutur kang muni tu’ia, yen sira nedya raharja, anggone pitutur iki, nggoningsun ngeling-eling, pitutur wong sepuh-sepuh, mugi padha bisa, anganggo pitutur iki, ambrekati wuruke wong tuwa-tuwa.
Lan aja nalimpang padha, mring leluhur dhingin dhingin, satindake den kawruhan, ngurangi dhahar lan guling, nggone ambanting dhiri, amasuh sariranipun, temene kang sinedya, mungguh wong nedheng Hyang Widdhi, lamun temen lawas enggale tinekan.
Hyang sukma pan sipat murah, njurungi kajating dasih, ingkang temen tinemenan, pan iku ujare Dalil, nyatane ana ugi, nenggih Ki Ageng Tarub, wiwitira nenedha, tan pedhot tumekeng siwi, wayah buyut canggah warenge kang tampa.
Panembahan senopatya, kang jumeneng ing Matawis, iku barang masa dhawuh, inggih ingkang Hyang Widdhi, saturune lestari, saking berkahing leluhur, mrih tulusing nugraha, ingkang keri keri iki, wajib uga niruwa lelakonira.
Mring leluhur kina-kina, nggonira amati dhiri, iyasa kuwatanira, sakuwatira nglakoni, cegah turu sathithik, lan nyudaa dhaharipun, paribara bisaa, kaya ingkang dingin dingin, aniruwa sapretelon saprapatan.
Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.
Pamore gusti kawula, punika ingkang sayekti, dadine socaludira, iku den waspada ugi, gampange ta kaki, tembaga lan emas iku, linebur ing dahana, luluh awor dadi siji, mari nama tembaga tuwin kencana.
Yen aranana kencana, dene wus awor tembagi, yen aranana tembaga, wus kaworan kancanedi, milanya den westani, aran suwasa punika, pamore mas tembaga, mulane namane salin, lan rupane sayekti yen warna beda.
Cahya abang tuntung jenar, puniku suwasa murni, kalamun gawe suwasa, tembaga kang nora becik, pambesate tan resik, utawa nom emasipun, iku dipunpandhinga, sorote pasthi tan sami, pan suwasa bubul arane punika.
Yen sira karya suwasana, darapon dadine becik, amilihana tembaga, oliha tembaga prusi, biresora kang resik, sarta masira kang sepuh, resik tan kawoworan, dhasar sari pasti dadi, iku kena ingaranan suwasa mulya.
Puniku mapan upama, tepane badan puniki, lamun karsa ngawruhana, pamore kawula Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan napsu, luwamah lan amarah, sarta suci lahir batin, pedimene apan sarira tunggal.
Lamun mangkonoa, sayektine nora dadi, mungguh ilmu kang sanyata, nora kena den sasabi, ewoh gampang sayekti, punika wong darbe kawruh, gampang yen winicara, angel yen durung marengi, ing wetune binuka jroning wardaya.
Nanging ta sabarang karya, kang kinira dadi becik, pantes yen tinalatenan, lawas-lawas bok pinanggih, den mantep ing jro ngati, ngimanken tuduhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa udani, apan ana dalile kang wus kalawan.
Marang leluhur sedaya, nggone nenedha mring Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira, lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur lampah.
Tampane nganggo alingan, pan padha alaku tapi, iku kang kinaryo sasap, pamriha aja katawis, jub rina lawan kabir, sumungah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton Jawi, tinampelan anggape pan kumawula.
Punika laku utama, tumindak sarto kekaler, nora ngatingalke lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, pan jero pangarahipun, asore ngemurasa, prayoga tiniru ugi, anak putu aja ana ninggal lanjaran.
Lan maning ana wasiyat, prasapa kang dingin dingin, wajib padha kawruhana, anak putu ingkang kari, lan aja na kang wani, nerak wewaleripun, marang leluhur padha, kang minulyakaken ing Widdhi, muga-muga mufaatana ing darah.
Wiwitan ingkang prasapa, Ki Ageng Tarup memaling, ing satedhak turunira, tan linilan nganggo keris, miwah waos tan keni, kang awak waja puniku, lembu tan kena dhahar, daginge pan nora keni, anginguwa marang wong wadon tan kena.
Dene Ki ageng Sela, prasape ingkang tan keni, ing satedhak turunira, nyamping cindhe den waleri, kapindhone tan keni, ing ngarepan nandur waluh, wohe tan kena dhahar, Panembahan Senopati, ingalaga punika ingkang prasapa.
Ingkang tedhak turunira, mapan nora den lilani, anitiha kuda napas, lan malih dipun waleri, yen nungganga turangga, kang kakoncen surinipun, dhahar ngungkurken lawang, wuri tan ana nunggoni, dipun emut punika mesthitan kena.
Jeng Sultan Agung Mataram, apan nora anglilani, mring tedhake yen nitiha, kapal bendana yen jurit, nganggo waos tan keni, lamun linandheyan wregu, datan ingaken darah, yen tan bisa nembang kawi, pan prayoga satedake sinauwa.
Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madek ing Kartasura, prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun, Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki, tan rinilan ujung astana ing Betah.
Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda, kabeh aja na kang lali, lawan aja nggogampil, puniku prasapanipun, nenggih Kang jeng Susunan, Pakubuwana ping kalih, mring satedhak turunira linarangan.
Dhahar apyun nora kena, sinerat tan den lilani, nadyan nguntal linarangan, sapa kang padha nglakoni, narajang waler iki, pan kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa, linabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.
Prasapa Kangjeng Susunan, Pakubuwana kaping tri, mring satedhak turunira, apan nora den lelani, ngawe andel ugi, wong seje ing jinipun, apan iku linarangan, anak putu wuri-wuri, poma aja wani anrajang prasapa.
Wonten waler kaliwatan, saking luhur dingin dingin, linarangan angumbaha, wana Krendhawahaneki, dene kang amaleri, Sang Danan Jaya rumuhun, lan malih winaleran, kabeh tedhak ing Matawis, yen dolana mring wana tan kena.
Dene sesirikanira, yen tedhak ing Demak nenggih, mangangge wulung tan kena, ana kang nyenyirik malih, bebet lonthang tan keni, yeku yen tedhak Madiyun, lan paying dadaan abang, tedhak Madura tan keni, yen nganggowa bebathikan parang rusak.
Yen tedhak Kudus tak kena, yen dhahara daging sapi, yen tedhak Sumenep iku, nora kena ajang piring, watu tan den lilani, lawan kidang ulamipun, tan kena yen dhahara, miwah lamun dhahar ugi, nora kena ajang godhong pelasa.
Kabeh anak putu padha, eling-elingan ywa lali, prasapa kang kuna-kuna, wewaler leluhur nguni, estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani nerak, pasti tan manggih basuki, Sinom salin Girisa ingkang atampa.
PUPUH XII
G I R I S A
Anak putu den estokna, warah wuruke pun bapa, aja na ingkang sembrana, marang wuruke wong tuwa, ing lair batin den bisa, anganggo wuruking bapa, ing tyas den padha santosa, teguhana jroning nala.
Aja na kurang panrima, ing pepasthening sarira, yen saking Hyang Moha Mulya, kang nitahken badanira, lawan dipunawas padha, asor unggul waras lara, utawa beja cilaka, urip utawa antaka.
Pan iku saking Hyang Suksma, miwah ta ing umurira ingkang cedhak, lan kang dawa, wus pinasthi ing Hyang Suksma, duraka yen maidowa, miwah yen kurang panrima, ing lokhilmahfut punika tulisane pan wus ana.
Iku padha kawruhana, sesikune badanira, aywa marang kang amurba, Kang Misesa, marang sira, yen sira durung uninga, prayoga atatakona, mring kang padha wruh ing ma’na, iku kang para ulama.
Kang wus wruh rahsaning kitab, darapon sira weruha, wajib moka ing Hyang Suksma, wiwah wajibing kawula, lan mokale kawruhana, miwah ta ing tatakrama, sarengat dipunwaspada, batal kharam takokeno.
dahnya Budaya Jawa
Cerkak “KATHOK KODHOK”
KATHOK KODHOK
Dening : Dhidhik Setiabudi
Esuk-esuk wong pada sibuk menyang papan pegaweane, bakul-bakul pada mangkat neng pasar, bocah-bocah pada mangkat neng sekolahan. Aku sing lagi prei kuliyah lungguh neng teras karo sms-an kancane. Merga ora ana sing gelem bales smsku, aku menyat lan mlaku nuju omahe mbakyuku sing ora adoh saka omahku. Tekan omahe mbakyuku ponakanku sing cilik dhewe lagi nangis mewek-mewek.
Tangise ora kaya biyasane, gawe jengkele ibune sing lagi sibuk nyiapake mulang menyang sekolah. Bojone durung mulih saka tilik sawah saka bar subuh.
Dene anake liyane wis padha menyang neng sekolahe dhewe-dhewe, merga dina kuwi ana ulangan semester.
“Dhik, tulung titip Teta, dijaga ya! Dineng-nengi ben ora ngganggu. Aku jan lagi sibuk tenan lho. Nek arep sarap kae neng meja makan ana sega goreng.” Panjaluke mbakyuku iki karo mangkat mulang menyang sekolahan.
“Ya, dak neng-nengane. Sega gorenge tak entekne ya mbak?”
Aku banjur mlaku nyedhaki ponakanku sing umure durung ana patang taun.
“Udah yah… Mama udah berangkat sekolah tuh. Kan kasihan kalau adik nangis terus.. ntar mamah enggak jadi kerja, kalu enggak kerja mamah enggak punya duwit, terus Teta besok makan pake apa hayo?”
Aku omong nganggo basa Indonesia. Pancen bocah jaman saiki basa jawa sing alus ora padha ngerti. Mulane ing kulawargane mbakyuku basa padinane campur-campur. Malah luwih akeh padha nganggo basa Indonesia.
Rasane lucu yen aku nyoba nganggo basa jawa sing alus. Bocah-bocahe padha ora seneng. Banjur aku mau miwiti nganggo basa Indonesia.
Bocah-bocah uga wis ora nyebut rama utawa ibu marang wongtuwane, nanging wis migunakake tembung Papah utawa Mamah.
“Kenapa menangis terus Teta? Apa karena dinakali Mama?”
“We…weeee… Teta mau dibelikan baju baru …we…wee..”
“O… Teta minta dibelikan baju baru?..”
Teta kepengin ditukokake klambi anyar. Teta nangis mewek-mewek jalaran kepengin ditukoke klambi anyar kaya dene duweke Imah, kancane ponakanku sing umahe arep-arepan karo umahe dheweke.
Klambi anyare Imah gambar Dora. Gambar kartun sing ponakanku seneng banget anggone nonton nek neng tv.
Mbok menawa bapak ibune mung durung sempat wae. Aku nyoba ngeneng-enengi ponakanku sing lagi mewek-mewek kuwi.
“Besok Om belikan ya… mau enggak?”
Krungu jawabanku mau, dheweke banjur ketok lega. Ngusap luh neng
pipine, senajan isih mimbik-mimbik manja banget.
“Besok Om belikan yang namanya celana kodok ya? Teta tahu enggak?”
Jawabane ponakanku mung gedhek-gedhek. Ora ngerti apa kuwi sing jenenge kathok kodhok.
Kamangka dhek jaman cilikanku, kathok kodhok kuwi istimewa banget. Saben bocah yen krungu tembung kathok kodhok bisa banjur senenge ora mekakat. Kathok kodhok dadi favorite bocah-bocah. Mergane yen dienggo anget tur ora mlotrak-mlotrok.
Aku banjur crita marang ponakanku ngenani kathok kodhok kuwi.
Aku crita pengalamanku dhewe karo kathok kodhok anyarku.
Ing jaman semana aku duwe kathok kodhok sing anyar. Kathong sing nembe ditukoke ibuku merga aku rangking siji neng sekolah.
Isuk-isuk dina minggu aku dolanan ingkling karo kanca-kancaku neng ngarep omahe tanggaku. Aku dolanan karo Asih, Salim, Kawer, Udin Lan Awi. Merga aku dolanane karo bocah-bocah kang luwih tuwa tinimbang aku, isuk kuwi aku klah terus. Kawer, Udin lan Asih menang terus, aku, Salim lan Awi sing umure lewih enom kalah.
Kawer pancen juwarane nek dolanan ingkling, bocahe langkahe dawa, lincah lan ora pernah salah. Nembe sedilit diwiwiti Kawer langsung oleh sawah dhisik.
“Aku lan bala-balaku ya durung wiwit, Kawer wis oleh sawah.”
Nelangsane atiku wektu kuwi.
Saya awan aku lan bala-balaku saya kalah saka Kawer lan balane. Wektu kuwi kira-kira jam 10 awan ujug-ujug ana suwara pret…. preet…. preeet…. preeeeeetttt………… Sarapanku mau isuk metu kabeh ing tengah-tengahe dolanan ingkling, aku ngobrok (ngising neng kathok). Suwara pret…. preet…. preeet…. kuwi banjur gawe ambune plataran omahe tanggaku sing wah… jan ora karuwan. Saking akehe regedanku sing metu ora sengaja, regendanku ngasi pada metu pating klapret neng sikil lan lemah sakngisorku. Kathok kodhok anyarku uga dadi robah warnane lam ambu banget.
Kanca-kancaku banjur padha bengok alok:
“Oeeee, Dhidhik ngobrok! Dhidhik ngising neng kathok!”
Mboko siji kanca-kancaku padha mlayu nyingkiri aku karo nutup irunge.
Aku mung bisa nangis nggugug ditinggal kanca-kancaku. Aku nangis merga kathok kodhokku sing anyar dadi reged kena abyuran saka wetengku. Aku isin banget. Ora let suwe, ana wong sing nyedhaki aku, sing nyedhaki aku ora liya ya ibuku.
Aku ora dinesoni. Ibuku malah mung gumujeng. Aku banjur dicandhak digawa bali, aku digawa menyang menyang kamar mandi diresiki Ibuku.
Ibuku ora wegah ngresiki regedanku. Ibuku ora wegah nyedhaki ambune regedanku. Ibuku ora wegah nyandhak awakku lan nyawiki aku. Ibuku ora duka weruh kathok kodhok anyarku dadi reged. Lan aku banjur meneng anggonku nangis. Aku mandeng ibu sing isih gumujeng lan gawe tentreme atiku.
Aku adus banjur ganti klambi lan dolan meneh karo kanca-kancaku mau.
Aku ora isin sanajan diledheki terus neng kanca-kancaku. Apa meneh Udin sing pancen seneng banget ngedheki bocah, aku diledheki tukang ngobrok, kanca-kancaku kabeh ya padha melu nyoraki aku tukang ngobrok.
Ngrungke critaku mau, Teta ngguyu kepinggkel-pingekel lali karo tangisane. Senajan bocah tesih cilik, Teta kalebu bocah cerdas. Dheweke pinter lan gampang mudeng yen ngrungokake crita. Jare wong-wong daya imajinasine Teta wis dhuwur, wis bisa mbayangake sing dicritakake wong marang dheweke.
Aku ndonga moga ponakanku iki dadi wong sing pinter.
Sakwise tak critani penglaman jaman aku tesih cilik, Teta tak jak sarapan karo sega goring sing wis disiapake Ibune sedurung mangkat mulang mau.
Aku lan Teta sarapan.
Jam 9 awan Bapake teta durung mulih saka sawah wiwit mau isuk, Teta njuk kelingan karo janjiku mau sing jarene arep nukokake kathok kodhok.
Aku karo Teta menyang pasar coba nggolek kathok kodhok sing kaya biyen aku tau duwe. Ning jaman saiki wis ora ngetren maneh kathok kodhok sing kaya jaman biyen aku cilik. Bakul-bakul ya wis padha ora adol kathok sing model kaya ngono.
Aku sidane nukokake Teta klambi gambar Dora persis kaya duweke Imah. Regane limolas ewu perak. Bali ngomah Teta seneng banget klambine anyar, nurut dalan dheweke nembang pertandha bungahe ati. Aku uga seneng bisa gawe seneng atine ponakanku.
Tekan ngomahe Teta, Kangmasku utawa bapake Teta wis lagi lungguh neng teras. Teta tak pasrahake marang bapake njur aku mulih bali neng omahku.
Sakwise tekan ngomahku, aku kelingan pengalaman mau, pengalaman sing nembe tak critakake marang Teta, aku mung bisa ngguyu dhewe. Kathok kodhokku sing anyar wis reged lan mambu. Nanging aku bisa nemu gumuyune ibu sing ora ilang saka rasaku ngasi sakprene.
Yen ing kulawarga isih ana ibu sing bisa gumuyu, ngresiki reregedaning anak, sepira begjane wong neng alam donya. Yen akeh sing isih padha bisa gumuyu uga ngresiki reregeding urip bebrayan. Mesthi urip bakal padha tentrem ora ana mungsuh lan tindakan sing gawe ora kepenak marang liya
Geografi
PARIWISATA DAN LEGENDA NUSAKAMBANGAN
Filed under: BUDAYA,PARIWISATA — pendekarjawa
bunga wijayakusuma, cerita rakyat, cilacap, legenda, legenda nusakambangan, nusakambangan, pantai karang pandan, pantai pasir putih, pantai permisan, pantai rancah babakan, wijayakusuma, wisata, wisata nusakambangan
NUSAKAMBANGAN
A. Tentang Nusakambangan
Pulau Nusakambangan yang menyandang predikat poelaoe boei terletak di selatan kota Cilacap dan tidak terlalu sulit untuk dicari di peta. Kita tinggal menelusuri bagian selatan pesisir Pulau Jawa. Pulau ini berbentuk panjang, mirip seekor puma yang sedang berlari dan pulau ini berimpit dengan sebuah semenanjung kecil berbentuk seperti mata bajak yang berupa sebuah kota, yaitu kota Cilacap.
Dilihat dari Pantai Teluk Penyu, Pulau Nusakambangan terlihat sangat dekat dengan kota Cilacap. Memang, letaknya hanya + 10 Km dan untuk perjalanan dari Cilacap ke Nusakambangan hanya memerlukan waktu + 10 menit.
Pulau Nusakambangan terletak membujur dari arah barat ke timur sepanjang + 36 Km, lebarnya bervariasi antara 6 sampai 8 Km. Luas keseluruhan + 210 Km2. topografinya berbukit-bukit dan penuh dengan hutan dan belukar ketinggian 0-50 meter dpl. Curah hujan rata-rata 2530 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 170 hari.
Sebelah utara pulau berbatasan dengan muara sungai Citanduy, Segara Anakan, Bengawan Donan, dan Selat Cilacap. Sebelah timur, selatan, dan barat berbatasan dengan Samudera Indonesia atau Samudera Hindia.
Sebelum menjadi tempat penampungan narapidana, Pulau ini telah berpenduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan. Penggunaan tenaga napi dalam pembuatan benteng pertahanan di Nusakambangan pada 1861 menjadi titik awal masuknya orang-orang hukuman atau perantaian ke pulau ini. Keberhasilan yang dicapai pemerintah Hindia Belanda dalam melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap napi saat itu dipakai sebagai dasar penetapan pulau tersebut sebagai pulau penampungan bagi orang hukuman atau penal colony. Sebelum keputusan diambil, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian lebih dahulu terhadap pulau lainnya, seperti Pulau Nusa Barung di JATIM, Prinsen Eiland di Ujung Kulon, dan Krakatau di Selat Sunda.
Namun, pilihan terakhir tetap tertuju pada Pulau Nusakambangan. Pada 1908, Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan ketetapan bahwa pulau tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai poelaoe boei atau bijzonderestaf gevangenis. Selanjutnya status pengawasan dan pemilikan pulau tersebut diserahkan kepada Raad van Justitie atau Departemen Kehakiman. Selain itu Pemerintah Belanda menggunakan pulau ini sebagai basis Pertahanan dan penduduk dipindahkan ke tempat seperti Kampung Laut, Jojok, dan Cilacap.
Pulau Nusakambangan sejak ditetapkan sebagai poelaoe boei sampai sekarang berstatus kepemilikan dan pengelolaannya berada di bawah Departemen Kehakiman. Sarana dan Prasarana untuk keperluan penduduk seperti air, komunikasi, pendidikan,dll sangat lengkap dan tersedia meski cukup memperihatinkan. Kebutuhan air bersih menggunakan air yang bersumber dari air perbukitan yang disalurkan melalui pipa-pipa ke masing-masing Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan perumahan. Untuk penerangan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Sejak Tahun 2001, PT. Holcim (dulu PT. Semen Nusantara) memberi bantuan listrik ke seluruh LP di pulau ini.
Sarana Transportasinya terbagi menjadi 2 yaitu laut dan darat. Sarana komunikasinya dengan telepon engkel yang berusia lebih dari 50 tahun. Sedang untuk berhubungan ke luar pulau dengan telepon Otomat yang berada di dermaga Wijayapura, Cilacap. Sarana pendidikan untuk anak-anak pegawai tersedia sebuah SD, yaitu SD Tambakreja 05 dengan guru dari Cilacap. Untuk sarana pelayanan kesehatan terdapat sebuah Rumah Sakit, dan juga sarana-sarana lain yang kondisinya cukup baik.
B. Sejarah Nusakambangan
5 Oktober 1705, kerajaan Mataram dan Belanda mengadakan perjanjian. Meski Nusakambangan berada di wilayah kekuasaan Belanda, tetapi sampai 1830 Cilacap masih dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram, dan mrnjadi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta setelah kerajaan Mataram pecah. Sebelumnya, Cilacap disaebut dengan Donan. Pada masa Donan sering terjadiserangan oleh Perompak. Suatu hari tahun 1801 saat para prajurit sedang bercocok tanam, tiba-tiba datang serangan perompak dari Celebes dan Borneo sehingga banyak prajurit yang tewas.
Setelah kejadian itu, Sri Susuhunan Paku Buwono IV kembali mengirim pasukan ke Donan untuk menambah jumlah pasukan. Kemudian dibentuk formasi baru yang membuat para perompak tidak lagi menyerang sejak 1801. pada tahun 1819 pemerintah Belanda menempatkan 30 personel pasukan artilerinya di timur Nusakambangan untuk menguasai Cilacap.
Setelah Perang Diponergoro tahun 1830, Cilacap berhasil dikuasai Belanda dan kemudian tahun 1836 dibangun dua benteng yang diberi nama Benteng Karang Bolong dan Benteng Njappa untuk menghadapi kapal musuh yang akan masuk ke sekitar semenanjung. Tahun 1883 benteng tersebut rusak karena gelombang air pasang akibat letusan Gunung Krakatau dan pada 1908, Nusakambangan ditetapkan sebagai poelaoe boei sehingga seluruh pasukan Belanda ditarik dari tempat itu.
Nusakambangan disebut poelaoe boei setelah dibangun sebuah penjara lagi pada tahun 1910 untuk menampung tahanan Belanda yang dipekerjakan sebagai petani karet. Sebutan poelaoe boei semakin kuat setelah enam penjara baru didirikan sejak 1925 hingga 1950 yang dapat menampung + 7000 orang narapidana.
Pos penjagaan pulau ini menjorok dari pantai ke arah selat berjarak 5 sampai 25 meter dan antara satu dengan lainnya berjarak 2 Km. Pada 1985, Menhan menutup lima dari sembilan LP karena bangunannya semi permanen sudah tak layak pakai. Tahun 1999 penghuni LP ini berumlah 405 orang dengan pegawai pwngawas 354 orang atau dengan rasio 1:1,14.
Kisah pelarian terbesar adalah pada 20 Mei 1982, 34 napi melarikan diri. Tetapi pada 22 Juni 1982, pencarian dihentikan karena senua napi berhasil tertangkap. Dari 34 orang napi yang melarikan diri, 21 orang ditangkap hidup-hidup dan 13 orang mati. Dari 13 orang napi yang mati, 8 orang tertembak di Nusakambangan, 4 orang tertembak di perairan JABAR, dan 1 orang dimakan binatang buas di hutan Nusakambangan. Napi yang mati dan dimakan binatang buas tersebut bernama Max Woworuntu. Mayatnya ditemukan oleh petugas di daerah Slok Maung, sebelah barat LP Karanganyar, Nusakambangan. Tim pencari mulanya menemukan isi perut manusia. Sekitar 50m dari itu tergeletak tengkorak yang setengah bagiannya masih ditutupi daging. Lalu pada hari berikutnya, petugas menemukan semua bagian tubuh yang terpisah-pisah seperti dicabik-cabik binatang buas. Hanya bagianlengan kiri yang tak ditemukan. Petugas memastikan bahwa itu adalah tubuh Max setelah sebuah buku harian lengkap dengan tanda tangannya ditemukan. Hingga kini, Direktorat Jendral Pemasyarakatan masih memandang Nusakambangan sebagai tempat pembinaan terhadap napi kelas berat.
Kontribusi Nusakambangan sangat penting bagi Cilacap, berupa perlindungan untuk daerah Cilacap dari angin besar dan ganasnya ombak laut selatan. Sedangkan untuk aktivitas ekonominya, pulau ini dimanfaatkan untuk pencarian ikan oleh nelayan, dan industri modern seperti Kilang Minyak Pertamina, Pabrik Semen, Penambangan Pasir Besi, dll. Disana juga terdapat perkebunan kelapa mampu berbuah 4000 sampai 5000 butir per bulan, perkebunan pisang cavendish sejak 1996 yang mencakup lahan 200 Ha, dan tambak yang kesemua hal tersebut tidak boleh merusak ekkosistem.
Lebih dari 75 tahun Pulau Nusakambangan merupakan daerah tertutup, tetapi setelah beberapa waktu, pulau ini dibuka untuk wisatawan. Dijadikan tempat wisata karena sebagian besar wisatawan datang ke p[ulau ini karena didorong oleh rasa penasaran dan keingintahuan mengenai segala aktivitas yang terjadi, terutama aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan napi kelas berat. Hal tersebut merupakan sebuah pengalamanyang menarik dan membanggakan untuk dijadikan bahan cerita kepada saudara atau teman yang belum pernah berkunjung ke pulau ini oleh para wisatawan. Beberapa tempat wisatanya antara lain Potensi Keindahan Alam Bahari, berupa Pantai Permisan, Pantai Pasir Putih, Pantai Pasir Gigit, Pantai Karang Bolong, Pantai Karang Bnadung, Pulau Majeti, Segara Aankan, dan Selat Indralaya. Potensi Keindahan Alam Gua, yaitu Gua Ratu, Gua Pasir, Gua Putri, Gua Masingit Sela, Gua Lawa, Gua Salak, Gua Bantar Panjang. Potensi Keindahan Alam Hutan, yaitu Cagar Alam Nusakambangan Barat, Cagar Alam Nusakambangan Timur, Perkebunan Karet, dan Hutan Mangrove.
Selain itu juga memiliki bangunan bersejarah, yaitu Benteng Karang Bolong, Benteng Batu Njappa atau Benteng Klinker, Monumen Artileri, Mercusuar Cimiring, Pemandangan Berambang, dan Pesanggrahan atau Kupel.
Pertanyaan mulai muncul karena Pulau Nusakambangan kini sedang menghadapi berbagai dilema permasalahan. Pulau yang dulunya mengisolasi diri dari dunia luar, kini mulai terbuka. Secara intendif pemanfaatan pulau ini adalah dimanfaatkan sebagai pulau wisata berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman tanggal 24 April 1995 tentang izin pemanfaatan Nusakambangan sebagai daerah wisata.
Akan tetapi dengan keputusan yang tegas mengenai masa depan Nusakambangan maka dilema permasalahan yang ada akan teratasi. Apapun alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, sepanjang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen maka itulah yang terbaik bagi masa depan Nusakambangan.
C. Tempat Wisata dan Legenda yang Ada di Nusakambangan
1. Benteng Karang Bolong
Benteng Karang Bolong terletak di kaki pantai timur laut Pulau Nusakambangan yang dapat dicapai dalam waktu 20 menit dari Dermaga Wijayapura atau dengan menggunakan perahu compreng sekitar 15 menit dari Pantai Teluk Penyu. Benteng yang terletak di kawasan hutan lindung ini dengan luas 6.000 m2 memiliki 3 benteng utama dimana salah satunya adalah benteng yang bertingkat tiga yang mempunyai ruang rapat besar dan dilengkapi dengan meriam.
Karena terdapat meriam di benteng tersebut menyebabkan Benteng Karangbolong disebut benteng artileri. Luas lahan keseluruhan sekitar 6.000 m2 dan pada dinding dilapisi dengan aspal .
Benteng yang terbuat dari bata berlepa dan keseluruhan terdiri 4 lantai yaitu 2 lantai berada di atas permukaan tanah sementara dua lantai berada di bawah permukaan tanah, memiliki sejumlah ruangan-ruangan yaitu ruangan barak prajurit , ruang tahanan, ruangan logistik juga dilegkapi dengan pagar tembok keliling, bastion dengan landasan meriamnya, bangunan pengintai dengan lobang-lobang penembakan, gudang amunisi serta bangunan perlindungan.
Dari Benteng Karang Bolong ini dapat diawasi jalur pelayaran di Samudra Indonesia dan jalur masuk ke Pelabuhan Tanjung Intan, antara Benteng Pendem dengan Benteng Karang Bolong keduanya saling melengkapi dalam hal pengawasan perairan Teluk Penyu .
Fungsi Benteng Karang Bolong oleh tentara Belanda sebagai kutup pertahanan guna menangkal serangan musuh yang datang dari laut atau menyerang kapal laut musuh dan sebagai gudang penyimpan rempah rempah milik Belanda. Benteng Karang Bolong tergolong jenis wisata budaya dan daya tarik wisata monumental sebagian besar bangunannya tertutup pohon-pohon besar.
2. Pantai Pasir Putih
Cocok dengan namanya pasir putih karena pantainya berpasir putih sehingga masyarakat menyebutnya Pantai Pasir Putih. Pantai Pasir Putih salah satu obyek wisata yang ada di sebelah selatan Pulau Nusakambangan tepatnya berada di sebelah timur Pantai Permisan. Pantai Pasir Putih dihiasi dengan berbagai batu karang atau pulau – pulau kecil yang membujur ke timur dihiasi ombak yang sangat dahsyat / ganas sehingga benturan air menghantam batu karang hitam menambah keindahan batu karang.
Untuk menuju Pantai Pasir Putih harus berjalan kaki menelusuri jalan yang sudah dibangun trap – trap dari paving blok sepanjang 600 m dari Pantai Permisan naik ke arah timur dan turun sampai pantai pasir putih dengan jarak 1 km. Gugusan batu karang di Pantai Pasir Putih yang membujur ke timur diselimuti ombak nan putih menambah indahnya panorama alam pantai pasir putih.
Batu – batu tersebut selain menambah keindahan pantai juga sebagai pemecah ombak yang menuju pantai pasir putih sehingga ombak yang ganas bisa dijinakan dan relatif tidak berbahaya.
Dengan pasir pantainya yang putih dan ombak yang cukup bersahabat menambah para wisatawan merasa betah dan senang berlama – lama menikmati keindahan pasir putih. Kelebihan pantai pasir putih masih terdapatnya pohon – pohon yang tumbuh secara alami sehingga menambah sejuk udara pantai dan tidak terganggu oleh teriknya sinar matahari karena bisa berteduh atau naik dahan – dahan pohon sambil menikmati deburan ombak laut selatan.
3. Pantai Rancah Babakan
Terletak diujung paling barat Pulau Nusakambangan yang berjarak 35 km dari dermaga Sodong. Untuk menuju pantai ini melalui alur selat Nusakambangan – Segara Anakan melewati Desa Klaces Kecamatan Kampung Laut. Sepanjang perjalanan melewati 4 LP yang masih berfungsi yaitu LP Batu, Besi, Kembang Kuning dan Permisan serta melewati Kecamatan Kampung Laut yang berada di Klaces dengan pemandangan hutan mangrove di kiri kanan alur sungai dan pemandangan pegunungan serta selat Indralaya.
Pantai Ranca Babakan tergolong pantai yang masih perawan karena belum banyak wisatawan yang berkunjung ke pantai ini, karena memang jalur yang menuju ke pantai belum memadai. Oleh karena itu masih sangat dibutuhkan penanganan pemerintah untuk membuka akses ke pantai ini sehingga dapat menjadi tempat wisata yang mudah untuk dikunjungi oleh wisatawan. Sehingga dapat memberikan pendapatan bagi daerah.
4. Pantai Permisan
Pantai Permisan juga terdapat di Pulau Nusakambangan tepatnya disebelah selatan LP Permisan. Pantai ini masih sangat alami belum banyak tercemari oleh manusia. Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan dan deburan ombak laut selatan akan membawa wiasatawan betah menikmati panorama keindahan pulau-pulau kecil dan batu-batu karang didepan pantai mempunyai nilai tersendiri dibanding pantai wisata lainnya di Cilacap.
Didepan pantai ada batu karang (pulau Kecil) yang mempunyai kenangan tersendiri bagi seorang pejebat negara yaitu Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebelum menjadi Perdana Menteri seorang yang bernama Syahrir pernah berkunjung ke Pantai Permisan, di pantai itu Syahrir mencoba menyebrangi gelombang laut yang saat itu sedang kecil, ia berhasil naik ke batu karang tersebut. Akan tetapi pada saat mau kembali ke pantai datanglah ombak yang sangat besar, sehingga Syahrir bertahan sampai berjam-jam menunggu air surut diatas batu karang. Dengan adanya peristiwa tersebut maka nama Syahrir diabadikan sebagai nama gugusan karang di Pantai Permisan yang oleh sebagian kalangan masyarakat menyebutnya Batu Syahrir .
Selain cerita di atas, jika air surut wisatawan bisa mendaki sejumlah batu karang yang tersembul. Mereka akan menyaksikan berbagai simbol sosial sebagai bukti adanya legenda Raja Pakuan Pajajaran yang mempunyai putri cantik terkena wabah penyakit yang bisa sembuh kalau diobati dengan air mata kuda sembrani, maka sang raja mengirim utusan untuk mendapatkan obat tersebut tetapi selalu gagal yang pada akhirnya sang putri itu sendiri berangkat dan karena kecapaian perjalanan jauh ia beristirahat dan mandi di Pantai Permisan terseret ombak ke tengah laut dan terjepit diantara batu karang dan meninggal dan dari kejauhan hanya kelihatan sebagian anggota badannya tanpa busana maka disitu ada batu karang yang mirip alat kelamin perempuan .
Juga disebut permisan saat ada perompak mau mendarat ke Nusakambangan pantai itu tidak tampak tapi setelah permisi pada Sang Baurekso Pulau Nusakambangan nampak pantai tersebut maka disebut permisan
Pantai Permisan juga merupakan tempat penggodokan para prajurit agar mampu menjaga dan dam membela keutuhan bangsa dan negara dari gangguan apapun baik besar maupun kecil yang kiranya mengganggu kedaulatan. Tekad dan kekokohan prajurit tersebut disimbolkan dengan salah satu atribut (pisau komando) yang ditancapkan atau ditusukan kedalam batu karang sehingga dari pantai tampak pisau komando menancap dibatu karang.
Untuk menuju Pantai Permisan para wisatawan dapat menggunakan kapal penyebrangan atau perahu baik dari Pelabuhan Lomanis atau Pelabuhan Wijayakusuma ke Sodong Nusakambangan kemudian dilanjutkan dengan kendaraan pribadi atau carteran rombongan menuju ke permisan. Selama perjalanan, wisatawan bisa menikmati pemandangan alam yang ada di Pulau Nusakambangan dan bisa singgah dulu di obyek wisata Goa Ratu juga bisa melihat LP Kembang kuning , Batu , Besi dan LP Permisan.
5. Pantai Karang Pandan
Pantai Karang Pandan merupakan salah suatu potensi obyek wisata yang ada di Pantai Timur Pulau Nusakambangan. Pantai Karang Bandung ini masih alami belum begitu banyak dicemari oleh ulah manusia dengan pemandangan yang indah di depan pantai dua buah pulau karang (Pulau Majethi) yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat tumbuhnya kembang Wijayakusuma, ikut menambah keindahan pantai Karang Bandung.
Pantai ini banyak dikunjungi orang pada hari Kamis Wage atau sehari menjelang pelaksanaan Sedekah Laut (Larungan Sesaji) untuk ziarah, tempat ini dijadikan ziarah dengan alasan di pantai ini terdapat beberapa tempat yang dianggap keramat sehingga mereka berkunjung akan lebih banyak mendapat berkah, tempat – tempat keramat diantaranya : Kali Lanang (diambil airnya) yang terletak di bagian timur naik sedikit dari pantai, Batu Meja (Batu Balai) yaitu segumpal batu karang besar yang digunakan sebagai tempat sesaji upacara juga berfungsi sebagai tempat pergelaran serta singgasana.
Untuk menuju pantai Karang Pandan harus menggunakan perahu selama 90 menit atau jalan kaki dari Benteng Karang Bolong Nusakambangan kurang lebih 75 menit. Para peziarah biasanya membawa sesaji yang berupa Jajan Pasar, Buah–buahan, Kembang Telon, Kinang, Kemenyan, Daun Dadapsrep, Kelapa Muda serta beberapa pusaka. Semua sesaji dikumpulkan di atas batu meja, setelah sesaji siap maka sesepuh Nelayan memimpin doa.
6. Legenda Bunga Wijayakusuma
Satu cerita legenda yang cukup terkenal di Indonesia terutama Pulau Nusakambangan adalah tentang Kembang atau Bunga Wijayakusuma. Ceritanya tentang seorang puteri Adipati Bandapati yang memerintah di Kadipaten Bonokeling, bernama Raden Ayu Bnadawati. Ia sangat cantik, molek, berbudi bahasa halus dan sangat lemah lembut sehingga banyak yang ingin memilikinya. Untuk meminang puteri tersebut diadakanlah sayembara yaitu dengan menahan semua kesaktian dan senjata pusaka Adipati Bnadapati. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Raden Pucangkembar yang merupakan putera dari Kyai Ageng Giri. Kemudian Raden Pucangkembarpun menikahi Raden Ayu Bnadawati. Walau sudah bersuami dan memiliki 3 orang anak, Raden Ayu Bnadawati masih dikejar Adipati-Adipati yang lain untuk dijadikan isteri. Akhirnya Raden Ayu Bnadawatipun menjelma sebagai setangkai bunga bernama Bunga Wijayakusuma. Begitu tenarnya legenda Bunga Wijayakusuma, sehingga tahun 1971 seorang tokoh penting negeri ini juga melakukan pemetikan Bunga Wijayakusuma dengan cara yang masih tradisonal.
Di Nusakambangan, luas seluruh cagar alam + 1200,50 Ha yang dibagi menjadi dua bagian karena kegiatan LP di wilayan tersebut. Hewan-hewan penghuni Cagar Alam itu dapat digolongkan menjadi Hewan Liar, Melata, dan Burung juga berbagai tanaman yang tumbuh secara berkelompok.
Meski hidup banyak tumbuhan dan hewan, tetapi disana ada keistimewaan tersendiri yaitu hutan Pohon Klalar di bagian Barat dan Bunga Wijayakusuma di bagian Timur yang membuat orang-orang tidak berani berbuat aneh-aneh karena legenda yang ada di tempat itu. Tetapi walau begitu, penjarahan hutan masih marak terjadi.
7. Cerita tentang Kerajaan Nusatembini
Cerita sejarah tentang Kerajaan Nusatembini mengambil setting di wilayah sekitar Pulau Nusakambangan. Nusatembini diceritakan sebagai sebuah Kerajaan Siluman yang cukup besar. Kerajaan ini memiliki wilayah di sekitar pantai Cilacap hingga pulau Nusakambangan. Keraaan ini memiliki benteng alamiah berupa tanamana bambu hingga tujuh lapis (Baluwarti pring ori pitung sap). Penggambaran benteng alamiah dari pagar bambu lapis tujuh itu dapat ditafsirkan bahwa si pembuat cerita hendak mengatakan bahwa pertahanan kerajaan Nusatembini terebut cukup kuat. Selain itu juga menunjukkan bahwa tanaman Bambu Ori merupakan tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar atau pengamanan bagi masyarakat Cilacap terhadap gangguan keamanan.
Kerajaan Nusatembini dipimpin oleh seorang penguasa wanita (raja putri) berparas cantik bernama Brantarara. Kecantikan sang putri menarik perhatian para penguasa dari kerajaan lain untuk menjalin kerjasama hingga mempersuntingnya sebagai permaisuri. Akan tetapi untuk mempersunting sang putri tidaklah mudah, karena begitu ketatnya penjagaan dan pertahanan. Banyak raja yang gagal hanya sekadar untuk dapat memasuki wilayah istana kerajaan Nusatembini.
Cerita tentang keberadaan penguasa Kerajaan dari kaum hawa ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai simbol tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak politik. Dengan demikian pandangan yang mengangap bahwa dalam budaya Jawa kaum wanita dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria tidak terbukti dalam alam pikiran si pembuat cerita sejarah Kerajaan Nusatembini tersebut. Dalam kebudayaan Cilacap ada nilai yang menganggap bahwa wanita juga memiliki kekuatan memerintah, bahkan dalam cerita itu melampaui kemampuan laki-laki.
Persoalannya adalah kapan sesungguhnya asal cerita Kerajaan Nusatembini ini berasal. Penulis sejarah dan hari jadi Cilacap versi Pemerintah Cilacap mengatakan bahwa Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman pra sejarah. Hal itu katanya dibuktikan dengan adanya peninggalan dua rumpun bambu ori yang merupakan peninggalan benteng Kerajaan Nusatembini. Pada tahun 1970 peninggalan peninggalan yang dipercaya berasal dari masa pra sejarah itu masih ada yang berlokasi di kompleks dermaga Pelabuhan pasir Besi, akan tetapi pada sat ini peninggalan itu sudah hilang.
Menurut hemat kami, cerita tentang Kerajaan Nusatembini memang bukan mengambil zaman Islam, tetapi juga bukan pada masa pra sejarah. Zaman pra sejarah tidak dikenal konsep kerajaan, yang ada hanya Primus Interpares, dan umumnya laki-laki tertua. Konsep kerajaan baru muncul pada masuknya kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa latar belakang sejarah Kerajaan Nusatembini sesungguhnya adalah masa Hindu dan Budha di wilayah Cilacap.
Tafsir bahwa latar belakang cerita tentang Kerajaan Nusatembini Nusatembini adalah Hindu Budha didukung dengan cerita lain yang terkait dengan kerajaan tersebut. Cerita rakyat dalam masyarakat Cilacap menceritakan bahwa di sebelah barat dari Kerajaan Nusatembini adalah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Dalam catatan sejarah, kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Hindu yang amat berkuasa di wilayah tatar Sunda. Oleh karena Kerajaan Nusatembini sezaman dengan Kerajaan Galuh, maka dapat dipastikan bahwa cerita tentnag adanya Kerajaan Nusatembini berasal dari zaman perkembangan Hindu dan Budha.
Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran merupakan kerajaan besar. Berbeda dengan Nusatembini, penguasa Pakuan Pajajaran adalah seorang pria yang gagah berani. Pada masa pemerintahannya ia dicobai Tuhan dengan berkembangnya wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Akan tetapi rakyatnya menjadi sangat menderita karena banyak di antara mereka yang harus kehilangan anggota keluarga akibat ganasnya wabah penyakit tersebut. Raja Pajajaran ini berusaha mencari cara untuk memecahkan masalah yang sedang melanda negerinya. Segala usaha telah dilakukan untuk mengatasi wabah tersebut, tetapi sia-sia. Raja Merasa sedih melihat penderitaan yang menimpa rakyat di seluruh negerinya, dan semakin sedih lagi ketika putra dan putrinya juga terserang penyakit.
Ketika raja sudah hampir putus asa dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda negerinya, datanglah seorang pendeta (wiku). Pendeta tersebut menyampaikan maksud kedatangannya hingga terjadi dialog seperti kutipan berikut :
Pendeta : ”Gusti Prabu junjungan hamba, ampunilah hamba ini akan segala kelancangan hamba menghadap Gusti tanpa panggilan dan dengan segala kemurahan Gusti Prabu, kami mohonkan maaf atas segala kesalahan ini”.
Raja : ”Teramat gembira rasanya aku melihat kedatangan wiku saat ini sebab memang ada sesuatu yang kini tengah merisaukan pikiranku sebagai pimpinan pemerintahan di Kerajaan Pajajaran ini”.
Pendeta : ”Gusti Prabu Junjungan hamba, rasanya hamba memaklumi apa yang tengah Gusti hadapi pada saat ini karena adanya wabah penyakit yang menimpa para kawula Pajajaran. Sampai pula Tuanku Putri saat ini terserang wabah penyakit itu”.
Raja : ”Rasanya memang demikian wikut, bahwa kerisauanku dan kecemasanku masih amat mencekam. Tetapi apakah kiranya bapa wiku dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesemuanya ini?”
Pendeta : ”Gusti Prabu Junjungan hamba, kedatangan hamba ini bermaksud untuk menyampaikan adanya ”wisik” atau ilham yang telah hamba terima. Bahwasanya apa yang terjadi saat ini di lingkungan Kerajaan Pajajaran serta penyakit yang diderita oleh Tuanku Putri junjungan hamba, masih dapat disembuhkan dengan obat apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani”. Adapun obat itu hanya dapat diusahakan dari bagian timur Kerajaan Pajajaran ini. Di arah timur sanalah ada sebuah keratorn yang disebut Nusatembini dan disitulah obat obat tersebut akan didapatkan. Tetapi untuk mencapai daerah itu serta mendapatkannya tidak mudah, sebab lingkungan Kraton Nusatembini adalah sangat gawat. Maka seyogyanya Gusti Prabu Junjungan hamba mengutus para abdi dalem Pajajaran yang terpilih untuk menghadapi ratu putri yang memimpin keraton tersebut.
Haturkanlah segala maksud Gusti untuk memohon apa yang disebut ”Air Mata Kuda Sembrani” yang menjadi peliharaan sang ratu. Apabila usaha mendapatkan airmata Kuda Sembrani itu berhasil, maka hal itu akan menjadi obat serta tumbalnya (Penolak) Kerajaan Galuh Pajajaran dari segala mara bahaya yang bakal datang.
Raja Pajajaran merspon positif saran-saran dari sang wiku tersebut. Raja tersebut kemudian mempersiapkan diri untu kmenuju Nusatembini. Beberapa orang adipati yang berada di bawah kekuasan Pajajaran yang dianggap mampu ditugasi menuju kerajaan siluman diutus sang raja menuju Nusatembini. Petinggi utusan jatuh pada Patih Harya Tilandanu yang dibantu oleh Adipati Gobog dan Adipati Sendang. Mereka mengerahkan prajurit pilihan agar segala rintangan di perjalanan dapat diatasi.
Setelah persiapan untuk berangkat menuju Kerajaan Nusatembini selesai, maka rombongan prajurit dari Pajajaran tersebut berangkat menuju kerajaan siluman di pantai selatan Cilacap tersebut. Meskipun berasal dari prajurit pilihan, perjalanan menuju Nusatembini ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati alam yang masih ganas berupa hutan belantara dan rawa-rawa yang membentang luas. Dalam situasi alam yang demikian pra prajurit Pajajaran dengan semnagat yang membara menuju Kerajaan Nusatembini agar memperoleh obat penyakit putri raja ” air mata kuda sembrani”.
Para prajurit utusan Pajajran tersebut akirnya sampai di wilayah Cilacap. Ketika sampai di wilayah Nusatembini mereka melihat adanya kekeuatan yan mengelilingi kerajaan tersebut yang amat kuat. Para prajurit berusaha memasuki istana kerajaan itu dengan berbagai cara. Akan tetapi kali ini usaha itu gagal karena adanya benteng rumpun bambu yang berlapis-lapis rapat yang mengellingi Kerajaan Nusatembini ibarat seperti pagar berlapis. Usaha untuk memasuki istana Nusatembini berkali-kali dicobanya, dan ternyata selalu gagal.
Kegagalan berkali-kali untuk memasuki Istana Nusatembini tidak membuat para prajurit Pajajaran putus asa. Dengan semangat membela sang Raja dan negaranya mereka selalu mencari cara untuk dapat memasuki Istana Nusatembini. Adipati Gobong, Adipati Sendang dan Patih Harya Tilandanu jalan lain diluar jalan perang. Mereka bersemedi untuk mendapatkan ilham dan jalan keluar agar dapat memasuki Istana Nusatembini. Setelah beberapa hari bersemedai akhirnya mereka memperoleh petunjuk gaib. Dalam petunjuk gaib itu dikatakan bahwa benteng bambu yang mengelilingi Nusatembini akan dapat dihancurkan denganmenggunakan peluru emas.
Setelah mendapatkan ilham tersebut para prajurit tata sunda utusan raja Pajajaran tersebut mengubah taktik dalam memasuki Istana Nusatembini. Mereka membuat peluru emas yang berasal dari uang emas untuk menghancurkan bambu yang mengelilingi keraton dengan raja perempuan tersebut.
Pembuatan peluru emas dilakukan oleh rombongan prajurit Pajajaran di lokasi yang tidak jauh dari Istana Nusatembini. Mereka singgah di suatu daerah di dekat istana tersebut selama berhari-hari. Selain memproduksi peluru emas, mereka juga mengatur siasat untuk melakukan penyerangan. Di daerah tempat persiapan penyerangan ini dikenal dalam cerita rakyat Cilacap sebagai daerah Donan. Satu daerah tempat Andon (bersinggah).
Setelah rencana penyerangan diatur secara matang, maka pada hari yang telah ditentukan rombongan prajurit Pajajaran melakukan serangan ke Istana Nusatembini. Serangan dilakukan oleh prajurit tangguh dengan menggunakan peluru emas yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peluru-peluru itu ditembakkan dan berjatuhan dekat atau di bawah rumpun bambu yang membentengi Istana Nusatembini. Para penduduk Nusatembini yang melihat peluru emas berjatuhan di bawah pepohonan bambu berusaha mengambil peluru-peluru yang bernilai ekonomi tinggi pada masa itu. Untuk dapat mengambil peluru tersebut mereka harus menebangi pohon bambu yang berlapis-lapis tersebut.
Prajurit Pajajaran menyadari makna peluru emas ternyata sebagai alat memancing penduduk dalam kerajaan untuk membuka isolasi kerajaan dengan menebang pohon bambu yang menjadi benteng kerajaan. Sedikit demi sedikit akhirnya Prajurit Pajajaran semakin dapat bergerak maju setelah dapat melewati rumpun-rumpun bambu ori yang ditebangi oleh penduduk setempat. Prajurit Pajajaran akhirnya berhasil memasuki dalam istana setelah berhasil melampaui tujuh lapis pagar bambu yang telah habis ditebangi penduduk yang tergiur pada peluru emas yang berjatuhan di bawah pohon bambu.
Cerita tentang adanya peluru emas ini dapat ditafsirkan dua hal yang menyangkut fakta-fakta historis dibalik cerita itu. Pertama, konsep senjata api dalam kisah tersebut menunjukkan bahwa latar belakang cerita itu adalah pada masa Kerajaan Pajajaran akhir menjelang berkembangnya agana Islam di Nusantara, kemungkinan abad ke-15 dan ke-16. Hal itu dapat dijelaskan karena senjata api diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan kemudian Belanda pada abad-abad tersebut. Kedua, kelemahan suatu negara sehebat apapun akan dapat dipatahkan dengan kekayaan. Emas yang merupakan simbol kekayaan yang bernilai ekoomi tinggi telah menggoda rakyat Nusatembini sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh pasukan asing.
Para prajurit Pajajaran akhirnya dapat memasuki Istana Kerajaan Nusatembini. Mereka bermaksud untuk menangkap sang ratu. Akan tetapi mereka mengalami kesulitan, sebab sang ratu memberikan perlawanan. Melihat bahaya yang mengancam, Raja Putri Nusatembini ini kemudian naik kuda sembrani terbang ke angkasa. Dengan suara lantang sang putri menantang para prajurit pendatang terebut, sembari berucap ”Hai prajurit Pajajaran, tunjukkan kesaktian dan kejantananmu, tangkaplah aku. Kalau dapat menangkap diriku, aku akan tunduk, Kerajaan Nusatembini aku serahkan kepadamu.” Melihat keperkasaan sang ratu, pra prajurit Pajajaran menjadi tercengang dan tidak segera melakukan perlawanan.
Di bagian lain diceritakan bahwa Patih Harya Tilandanu memasuki ruang dalam istana Nusatembini . Ketika sedang menjelajahi ruang-ruang tersebut, ia menemukan seorang wanita yang snagat cantik. Menurut keyakinan masyarakat setempat, putri terebut adalah Ratu Brantarara, Raja Putri Nusatembini. Sang Patih berusaha untuk mendekati wanita tersebut, tetapi belum sampai berhasil mendekat wanita itu lenyap dari pandangan matanya dan berubah menjadi ”golek kencana” (boneka emas). Sang Patih menjadi gemas dan berusaha untuk memegang golek tersebut, tetapi benda itu melejit dan mengenai tubuh sang patih hingga terjatuh. Boneka itu mengeluarkan warna berkilau yang menyebabkan sang patih mengalami kebutaan. Dengan adanya peristiwa itu, maka usaha utusan Pajajaran untuk mendapatkan air mata kud asembrani sebagai obat penyembuh putri raja mengalami kegagalan. Akan tetapi paa prajurit Pajajaran juga tidak berani kembali pulang ke Pajajaran dengan tangan hampa karena takut ancaman hukuman yang berat akibat kegagalannya.
Para prajurit Pajajaran kemudian menetap di daerah Nusatembini, termasuk Patih Harya Tilandanu. Bahkan Patih Harya Tilandanu ini meninggal dunia di Cilacap dan dimakamkan di Gunung Batur. Cerita Rakyat Cilacap mengatakan bahwa makamnya di desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Adipati Gobog juga menjadi penghuni menetap di wilayah Nusatembini. Mereka meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan makam Adipati Gobog. Lokasi makam itu sebelah selatan jalan Jenderal Sudirman, tidak jauh dengan pasar seleko. Nama Adipati Gobog sempat diabadikan menjadi nama jalan, sebelum berubah menjadi jalan Sudirman. Sementara itu Adipati Sendang, makamnya di Desa Donan.
Sumber : Buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Tinggalkan sebuah Komentar
November 1, 2009
SERAT WULANGREH
Filed under: naskah kuno — pendekarjawa @ 6:33 pm
Tags: naskah, naskah kuna, naskah wulangreh, serat, serat wulangreh, wulangreh
PUPUH I
DHANDHANGGULA
Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
Lamun ana wong micara kaki, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
Angel temen ing jaman puniki, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
PUPUH II
K I N A N T H I
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
Dadiya lakuniraku, cegah dhahar lawan guling, lawan ojo sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.
Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari.
Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil, yen pantes raketana, darapon mundhak kang budi
Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh durjana, tan wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep akeh bongsa, nora wurung dadi maling.
Sanadyan nora melu, pasti wruh lakuning maling, kaya mangkono sabarang, panggawe ala puniki, sok weruha gelis bisa, yeku panuntuning iblis.
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.
Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor dipun bucal, unbag gumunggung ing dhiri, obrol umuk kang den gulang, kumenthus lengus kumaki.
Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku lambanging waong ala, nom-noman adoh wong becik, emoh angrungu carita, kang ala miwah kang becik.
Cerita kang wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener lan becik, tindak bener lan kang salah, kalebu jro caritareki, mulane aran carita, kabeh-kabeh den kawruhi.
Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.
Ingkang becik kojahipun, sira anggawa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki.
Akeh wong kang bisa muwus, nanging den sampar pakolih, amung badane priyangga, kang den pakolihaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.
Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana amemedha, angrasa pinter ngluwihi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes dipun cedhaki.
Singakna den kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen open nora layak, yen sira sadhinga linggih, nora wurung katularan, becik singkiorana kaki.
Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lan den wedi mring wong tuwa, ing lair prapto ing batin, saunine den estokna, ywa nambuh wulang kang becik.
PUPUH III
G A M B U H
Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kelantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa katutuh kapatuh pan dadi awon.
Aja nganti kebanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur kojur sayekti tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos.
Pitutur bener iku, sayektine kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik wurukipun, iku pantes sira anggo.
Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang, kidang adigung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati samyoh.
Sikidang umbagipun, angendelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angendelken gung ainggil, ula ngendelaken iku, mandine kalamun nyakot.
Iku upamanipun, aja ngendelaken sira iku, tukang Nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digung, ing wasana dadi asor.
Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon.
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngatiati, den kawang-kawang barang laku, den waskitha solahing wong.
Dening tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngedelken upase mandos.
Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang ngunggung, wekasane kajalomprong.
Kumprung wong pengung bingung, wekasane lali nora eling, yen den gunggung katone muncu-muncu, wong pengung saya dadi, kaya wudun meh mencothot.
Ing wong kang anggunggung, mung sepele iku pamrihipun, mung warege wadhuke klimising lathi, lan telese gondhangipun, rerubo alaning uwong.
Amrih wareke iku, yen wus warek gawe nuli gawe umuk, kang wong akeh kang sinuprih padha wedi, amasti tanpa pisungsung, adol sanggap sakehing wong.
Yen wong mangkono iku, nora pantes pedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedhoplok.
Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh wong nggunggung, kang wus weruh amelengos.
Aja nganggo sireku, kalakuwan kang mangkono iku, nora wurung cinirenen den titeni, mring pawong sanak kang weruh, nora nana kang pitados.
PUPUH IV
P A N G K U R
Kang sekar pangkur winarna, lelabuhan kang kanggo ing wong urip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ta ing tata krama, den kaesthi siyang ratri.
Deduga lawan prayoga, myang watara reringa aywa lali, iku parabot satuhu tan kena tininggala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku angucap meneng myang nendra, duga-duga aja kari.
Miwah ta sabarang karya, ing prakara gedhe kalawan cilik, papat iku datan kentun, kanggo sadina-dina, rina wengi neng praja miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambekan, papat iku aja lali.
Kalamun ana manungsa, tan anganggo ing duga lan prayogi, iku watake tan patut, awor lawan wong kathah, degsura ndaludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak nora wurung neniwasi.
Pan wus watake manungsa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna mininipun, pan dadi panengeran ingkang pinter kang podho miwah kang luhung, kang sugih lan kang melarat, tanapi manungsa singgih
Tinitik solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawas ginrotan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, datan amindho gaweni.
Ginulang sadina-dina, wewekane ing basa lan basuki, ing jubriya-kibiripun, sumungah lan sesongaran, mung sumendhe sakarsanira Hyang Agung, ujar sirik kang rineksa, kautaman ulah wadi.
Ing masa mengko pan nora, kang katemu laku basa basuki, ingkang lumrah wong puniku, dhengki srei lan dora, iren meren pisastene pan kumingsun,sasolahe tan prasaja, jail mutakil basiwit.
Alaning liyan den andhar, ing becike liya kang den simpeni, becike dhewe ginunggung, kinarya pasamuan, tan rumasa alane dhewe ngandhukur, wong mangkono wewatekny, nora pantes den pedhaki.
Iku wong durbala murka, nora nana mareme jroning ati, sabarang karepanipun, sanadyan wus katekan, arep maneh nora marem saya mbanjur, luwamah lawan amarah, iku kang den tuti wuri.
Ing sabarang solah tingkah, ing pangucap tanapi nyang alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadi.
Aja nedya katempelan, watek ingkang tan becik tinutwuri, watek rusuh nora urus, tunggal lawan manungsa, dipun sami anglabuhi kang apatut, parapan dadi tuladha, tinula mring wong kang becik.
Aja lunyu lumur genjah, angrong prasanakan nyumur gumuling, ambubuti arit puniku, watak kang tan raharja, pan wong lunyu nora kena dipun enut, monyar-manyir tan antepan, dela lemeran puniku.
Para panginan tegesnya, genjah iku cecegan barang kardi, angrong prasanak liripun, karem ulah miruda, mring rabine sadulur miwah bebatur, tuwin sanak prasanakan, sok senenga dan ramuhi.
Nyumur guling punika, ambelawah datan duwe wewadi, nora kene rubung-rubung, wadine kang den urap, mbuntut arit punika pracekanipun, apener neng pangarepan, nggarretel dumunung wuri.
Sabarang kang dipun ucap, nora wurung mung plehe pribadi, iku lelabuhan patut, aja nedya anelad, ing wateke kangnem prakoro punika, kang sayogya ngupayoa, anglir mastimbul ing warih.
PUPUH V
MASKUMAMBANG
Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen den nuta.
Apan koyo mangkono watekanneki, sanadyan wong tuwa yen duwe watak tan becik, miwah ing tindak prayoga.
Aja sira niru tindak kang tan becik, sanadyan wong liya, lamun pamuruke becik, miwah ing tindak prayoga.
Iku pantes yen sira tiruwa kaki, miwah bapa biyung, amuruk watek kang becik, kaki iku estokena.
Wong tan manut tuture wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing donya tumekeng akhir, tan wurung kasurang-surang.
Maratani mring anak putu ing wuri, den padha prayitna, aja ana kang kumawani, ing bapa tanapi biyang.
Ana uga etang etangane kaki, lelima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lelima punika.
Ingkang dening rama iku kaping kalih, marang maratuwa, lanang wadon kaping katri, lan marang sadulur tuwa.
Kaping pat marang guru kang sayekti, sembah kaping lima marang Gustinira yekti, pacincene kawruhana.
Pramila rama ibu den bekteni, kinarya jalaran, anane badanireki, kinawruhan padhang hawa.
Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing bating saking Hyang Widdhi, milane wajib sinembah.
Pan kinarsakake marang ing Hyang Widdhi, kinarya lantaran, ana ing dunya puniki, nyalaki becik lan ala.
Saking ibu rama margane udani, miwah maratuwa, lanang wadon den bekteni, aweh rasa ingkang nyata.
Sajatine rasa kang mencarke wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa.
Pan sinembah gegantining rama ugi, pan sirnaning wong tuwa, sadulur tuwa gumanti, inkang pantes sira tuta.
Iba warah wuruke ingkang prayogi, sembah kang kaping papat, marang ing guru sayekti, marmane guru sinembah.
Kang pituduh marang marganing ngaurip, tumekeng antaka madhangken petenging ati, mbeneraken marga mulya.
Wong duraka ing guru abot sayekti, mila den prayitna, minta sih siyang ratri, ywa nganti suda sihira.
Kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti kang Murba, ing pati kalawan urip, paring sandhang lawan pangan.
Wong neng dunya wajib manuta mring Gustlawan para lurah, sapratingkahe den esthi, aja dumeh wis awirya.
Nora putra santana wong cilik, pan padha ngawula, pan kabeh namani abdi, yen dosa kukume padha.
Yen rumasa putra santana sireki, dadine tyasira angenira sayekti, tan wurung anemu papa.
Angungasken putra sentananing Aji, iku kaki aja, wong suwita nora becik, kudu wruh ing karsanira.
Yen tinuduh saking Sang Maha Narpati, barang pituduhnya, poma estokna sayekti, karyanira sungkemana
Aja menceng saprintahe sang siniwi, den pethel aseba aywa malincur ing kardi, lan aja ngepluk sungkanan.
Luwih ala alane ing wong ngurip, wong ngepluk sungkanan tan patut ngawuleng Gusti, ngengera sepadha-padha.
Nadyan ngenger neng biyungira pribadi, yen karya sungkanan nora wurung den srengeni, yen luput pasti pinala.
Apa kaya mangkono ngawuleng Gusti, kalamun leleda, tan wurung bilahi, ing wuri aja ngresula.
Pan kinarya dhewe bilahinireki, lamun tan temene, barang pakaryane Gusti, lahir batin ywa suminggah.
Apa Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa kekasih, pan mung bener agemira.
Kukum adil pan mung iku kang kaesthi, mulata padha den rumeksa Gusti, endi lire wong rumeksa.
Dipun gemi nastiti lan ngati-ati, gemi mring kagungan, ing Gusti ywa sira wani, anggegampang lawan aja.
Wani-wani nuturken wadining Gusti, den bisa rerawat, ing wewadi sang siniwi, nastiti barang parentah.
Ngati-ati ing rina kalawan wengi, ing rumeksanira, lan nyandhang karsaning Gusti, Duduke wuluh kang tampa.
PUPUH VI
DUDUK WULUH
Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep karyanipun setya tuhu marang Gusti, dipun purut sapakon.
Apan Ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahaken hukum adil, pramila wajib den emut, sapa tan anut ing Gusti, mring parentahe Sang Katong.
Aprasasat batali karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, sapirsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.
Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur baya aja ngabdi, angur ngidunga karuhun, aja age-age ngabdi, yen durung eklas ing batos.
Ngur ngidungan bae nora ana pakewuh, lan nora nana kang ngiri, mungkul tutug karepipun, nora susah tungguk kemit, sarta seba lurahe nganggo.
Nanging iya abote wong ngidung iku, keneng patrol pinggir margi,lamun nora patrol nglurung,
keneng lenga pendhak sasi,katru lurahe sabotol.
Lan yen ana tetontonan aneng lurung,kemul bebede sasisih,saha mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris,andhodhok pinggiring bango.
Parandene jroning tyas kaya tumenggung, mengku bawat Senen Kemis, mankono ambeki reku, nora kaya wong ngabdi, wruh plataraning Sang Katong.
Lan kelingan sarta ana aranipun, lan ana lungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipun pakeling, mulane pinardi katong.
Samubarang ing karsaning Sang Prabu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, lamun wong kang padha ngabdi, panggaweyane pan seyos.
Kaya iku bopati kliwon panewu, luwin mantri lawan miji, panglaweyan miwah pajang, tuwin kang para prajurit, kang nambut.
Kabeh iku kuwajiban sebanipun, ing dino kang amarengi, wiyosanira sang Prabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.
Yen kang lumrah yen karep seba wong iku, nuli ganjaran den incih, lamun nora yen tan nuli mutung, iku laku sewu sisip, yen wus mangerti ingkang wong.
Tan mangkono etunge kang wus sumurup, yen iku nora pinikir, ganjaran pan wus rumuhun mung amamrih sihing Gusti, winales ing lair batos.
Setya tuhu barang saprentah manut, ywa nglegani karseng Gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah aneng jaladri, darma lumampah sapakon.
Dening beja cilaka utawa luhur, asor luhur wus pasti, ana ing bebadanira, aja sok anguring uring, Gusti nira inggih Sang Katong.
Mundhak ngakehaken ing luputireku, mring Gusti tuwin Hyang Widdhi, dening ta sabeneripun, temen pasti lawan takdir, mring badan tan kena megoh.
Tulisane lokhil makful kang runuhun, pepancene kang wus pasti, tan kena owah sarambut, tulise badanireki ywa ana mundur sapakon.
PUPUH V
D U R M A
Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.
Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.
Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.
Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.
Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.
Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.
Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih waonan,
den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.
Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono tindakira,
yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.
Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen becikira,
aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.
Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi pandirangan,
matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.
Aja gelem aja mada nora bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan, den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.
Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.
PUPUH VI
WIRANGRONG
Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira.
Kudu golek masa ugi, panggonan lamun miraos, lawan aja age sira muwus, durunge den kaesthi, aja age kawedal, yen durung pantes lan rowang.
Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara.
Lan welinge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan.
Den padha gemi ing lathi, aja ngakehke pepisoh, cacah cucah erengan ngabul-abul, lamun tan lukani, den dumeling dosanya, mring abdi kang manggih duka.
Lawan padha den pakeling, teguhna lahir batos, aja ngalap randhaning sedulur, sanak miwah abdi, karsa rewang sapasang, miwah maring pasanakan.
Gawe salah graitaning, ing liyan kang sami anom, nadyan lilaa lanangipunkang angrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
Gawe salah graitaning, ing liyan tan sami anom, nadyan lilaa lananganipun, kang ngrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
Tan wurung dipun cireni, ing batin ingaran rusoh, akeh jaga-jaga jroning kalbu, arang ngandel batin, ing tyase padhasuda, pangandele mring bendara.
Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakwan iku akeh pun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.
Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga.
Iya upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadawa, gegetun patang warsa, padha lan ilang saleksa.
Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggegawe ugi, gegadhen pan tumanggal, ulate teka sumringah.
Dene wong durjana ugi, nora ana den batos, rina wengi mung kang den etung, duweke liyan nenggih, dahat datan prayoga, lamun wateke durjana.
Dene bebotoh puniki, sabarang pakaryan lumoh, lawan kathah linyok para padha, yen pawitan enting
tan wurung anggegampang, ya marang darbeking sanak.
Nadyan wasiyating kaki, nora wurung dipun edol, lamun menang endang gawe angkuh, pan kaya bopati, wewah tan ngarah-arah, punika awoning bangsat.
Kepatuh pisan memaling, tiniteran saya awon, apan boten wonten panedinipun, pramilane sami, sadaya nyinggahana, anggegulang ngabotohan.
Dene ta wong akng madati, sesade kemawon lumuh, amung ingkang dados senengipun, ngadep diyan sarwi, linggih ngamben jejegang, sarwi leleyang bebuden.
Yen leren nyeret, netrane pan merem karo, yen wus ndadi awake akuru, cahya biru putih, njalebut biru toya, lambe biru untu petah.
Beteke satron lan gambir, jambe suruh arang wanuh, ambekane sarwi melar mingkus, atuke anggigil, jalagra aneng dhadha, tan wurung ngestop boliro.
Yen mati nganggo ndalinding, suprandene npra kapok, iku padha singgahana patut, ja ana nglakoni, wong mangan apyun ala, urpe dadi tontonan.
Iku kabeh nora becik, aja na wani anganggo, panggawe patang prakara iku, den padha pakeling, aja na wani nerak, kang wani nerak tan manggih arja.
Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum, sajeng tanpa masa iku, dadi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala.
Lan aja karem sireki, ing wanodya ingkang awon, lan aja mbuka wadi siraku, ngarsaning pawestri tan wurung nuli corah, pan wus lumprahing wanita.
Tan bisa simpen wewadi, saking rupake ing batos, pan wus pinanci dening Hyang agung, nitahken pawestri, apan iku kinarya, ganjaran marang wong priya.
Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dapur, yen bakale becik, den anggo weh manfaat, kaya Pucung lan kaluwak.
PUPUH VII
P U C U N G
Dipun sami marsudi ing budinipun, weweka den awas, aja dumeh bisa angling, den apantes masa kalane micara.
Nadyan namung sakecap yen nora patut, prenah ing wicara, sadurunge den kaesthi, awasane semune rewang alenggah.
Lawan aja sok metua wong celathu, aneng pasamuwan, ora pantes kang kawiji, ora ana kang kasimpen ing wardaya.
Wicara kang kawetu aja kabanjur, nganggowa prayoga, arahen kang ngati-ati, yen wus melu nora kena tinututan.
Milanipun den prayitna wong celathu, aja sok supata, pan dadi regeding urip, yen micara larangana ngucap tobat.
Iku dadi cilakane ing uripmu, poma-poma padha, den gemi wedaling lati, masa mangke supata ginawa dinan.
Akeh tiru pangucap saru rinungu, anut ukaning tyas, tan ana kang angukumi, ukuming Hyang kinurangan sandhang pangan.
Lawan aja terocoh sugih pepisuh, ngucap cacah cucah, anyenengi batur sisip, yen duduka den dumeling sisipira.
Iku padha den teguhana den kukuh, lawan aja sira, angalap randhaning abdi, miwah sanak kanca satunggal sapangan
.Gawe salah graita kang padha ngrungu, sanadyan lilaa, iya kang anduwe rabi, sanakira ilang pitayaning mana.
Nora wurung sinebut kalamun rusuh, batur ira padha, suda pangandeling batin, mring bandara masa kuranga parawan.
Lawan aja cacad ingkang luwih agung, pan patang prakara, ingkang dingin wong madati, pindho botoh ping telune wong durjana.
Kaping pate wong budi saudagar tambah, sabarang prakara, mung mungkul suka lan sugih, rina wengi mung bathine kang den etang.
Lumuh kalong tur wus nyekel reyal satus, kalonge sareyal, gegetune sangang sasi, durung marem yen durung simpen saleksan.
Mung sukane yen ana dhedhayoh muncul, nggawa gandhen emas, anenembung utang dhuwit, sumarangal ulate teka sumringah.
Wong durjana kang kaesthi siang dalu, mung wong sugih arta, kang den incih den malingi, luwih ala-alane budi durjana.
Botoh iku sabarang panggawe lumuh, para padu dura, lamun pawitane enting, ora wurung nggegampang duweking sanak.
Nora etung wasiyate kaki buyut, tan nganggo den eman, barang wesi tumbak keris, nora wurung ingedol wataking bangsat.
Lamun menang angkuhe kaya wong agung, belaba aloma, tan anganggo ngeman picis, nora nganggo kira-kira weweh sanak.
Dene lamun kabutuh tanwurung nguthuh, mring tetangganira, yen kalimpe denmalingi, mula aja karem nggegulang botohan.
Dene yen wong madati keset tur angkuh, barang gawe sungkan, kang dadim kareming ati, ngadhep diyan alungguh sambi jejegang.
sarta nyekel bedutane den elus-elus, angedhep pangeran, leren nyered banjur dhidis, suwe-suwe matane rem-erem ayam.
Lamun ana rewange wong nyeret iku, ingkang karujukan, crita cinrita pra gaib, para rasa sastrane ingkang rinasa.
Sira ingkang tyas supaya akeh wong ngrungu, andangi sabarang, nora nganggo wigah-wigih, nadyan kalah diakali pasti menang.
Suprihipun anaa wong aweh candu, sing wong kekurangan, pikir peteng susah ati, suka bungah adhangan akale ndara.
Yen wus ndadi nyerete awake kuru, mesem ulatira, njambut wadi saking warih, lambe biru untu putih arang nginang.
Tenmenipun satronjambe gambir suruh, injet lan mbakonya, kinira yen wedi getih, tan angandel puniku mewani cahya.
Nyeret lawas ambekane melar mingkus, jelagra neng dadha, watuke saya gumugil, yen agering ndalinding metu bolira.
Iya iku alane wong mangan apyun, uripira dadya, tontonan padhaning jalmi, singgahana wewaler telung prakara.
Ana maning wewaler aja sok wuru, nora nganggo masa, endi lirira puniki, nginum sajeg puniku watake ala.
Yen amendem ilang prayitnaning kalbu, tan ajeg pikirnya, sabarang angrasa wani, tinemenan wekasane dadi ala.
Lawan aja karem mring wanita ayu, kang ala anggepnya, lan aja mbukak wewadi, mring ngarsaning wanita tan wurung corah.
Sampun lumrah ing wanita datan brukut, asimpen raharja, saking rupake ing batin, apan uwus pinanci dening Hyang Suksma.
Nitahaken pawestri pan kinaryeku, ganjaraning priya, kabeh padha den nastiti, mring pitutur sayekti kudu prayitna.
Aja dumeh pitutur kang tanpa dapur, yen becik bakalnya, den anggowa manfaati, aja kaya Pucung kalawan kaluwak.
Ing ngandhap punika inkang aslinipun sampun kasekaraken Pucung 22 pada sekar.
PUPUH VIII
P U C U N G
Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah pisah.
Den budiya kepriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga.
Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar siji-siji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang.
Aja kaya sadulur memanise dipun runtut, oja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu katon prayoga.
Abot enteng wong duwe sanak sadulur, ji tus tandhingira, yen golong sabarang pikir, kacek uga kang tan duwe sanak kadang.
Luwih abot wong duwe sanak sadulur, enthenge yen pisah, pikire tan dadi siji, abotipun yen sabiyantu ing karsa.
Lamun bener apinter pamomonganipun, kang ginawa tuwa, aja nganggo abot sisih, dipun sabar pamengku ing sentana.
Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa nenom aja beda traping karya.
Kang saregep kalawan ingkang malincur, iku kawruh ana, sira alema kang becik, ingkang malincur den age bendanana.
Datan mari bebendon nggone malincur, age patrapana, sapantese dosaneki, mring santara darapon dadi tuladha.
Nadyan iya wong cilik pasti piturut, kang padha ngawula, dimen padha wedi asih, pan mangkono lakune wong dadi tuwa.
Den ajembar anggonira amangku, den pindho sageta, tyase amot ala becik, mapan ana pepancene sowang-sowang.
Pan sadulur tuwa wajibe pitutur, mring kadang taruna, kang anom wajibe wedi, dipun manut tuture sadulur tuwa.
Kang tinitah dadi anom aja masgul, ing batin ngrasaa, saking karsaning Hyang Widdhi, yen masgula ngowai kodrating Suksma.
Nadyan bener yen wong anom dadi luput, dene ingkang tuwa, den kayu banyu ing beji, awening tingale aja sumunar.
Lan maninge pan ana pituturingsun, yen sira amaca, sabarang layang den eling, aja pijer ketungkul ngelingi sastra.
Caritane ala becik dipun enut, nuli rasa kena, carita kang muni tulis, den karasa kang becik si ra a- nggawa.
Ingkang ala rasakena dadi luput, supaya tyasira, weruh ing ala lan becik, ingkang becik wiwitane kawruhana.
Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi
ing wekasanipun teka dadi ala.
Ing sabarang prakaran dipun kadulu, wiwit wekasanya, bener luput den atiti, ana becik wekasane dadi ala.
Dipun weruh iya ing kawulanipun, lan wekasanira, puniku poma den ana, ala dadi becik ing wekasanira.
Ewuh temen babo wong urip puniku, apan nora kena, kinira-kira ing budi, arang mantep wasise basa raharja.
PUPUH IX
M I J I L
Pomo kaki padha dipun eling, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, luruh sarta wasis, samubarang tanduk.
Dipun nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasona yen durung masane, kekendelan aja wani manikis, wiweka ing batin, den samar ing semu.
Lan dimantep mring panggawe becik, lawan wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wis tinitah marang Hyang Widhi, ing badan punika, wus pepancenipun.
Ana wong narima ya titahing, mapan dadi awon, lan ana wong narima titahe, wekasane iku dadi, becik, kawruhana ugi, aja seling surup.
Yen wong bodho datan nedya ugi, atakon tetiron, anarima titah ing bodhone, iku wong narima nora becik dene ingkang becik, wong narima iku.
Kaya upamane wong angabdi, marang sing Sang Katong, lawas-lawas ketekan sedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaneng, ing tyas kang panuju.
Nuli narima tyasing batin, tan mengeng ing Katong, rumasa ing kani matane, sihing gusti tumeking nak rabi, wong narima becik kang mangkono iku.
Nanging arang iya wong saiki, kang kaya mangkono, Kang wus kaprah iyo salawase, yen wis ana lungguhe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.
Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan eling ing mula mulane, witing sugih sangkane amukti, panrimaning ati, kaya anggone nemu.
Tan ngrasa kamurahaning Widdhi, jalaran Sang Katong, jaman mengko ya iku mulane, arane turun wong tuwa tekweng, kardi tyase Sariah, kasusu ing angkuh.
Arang nedya males sihing Gusti, Gustine Sang Katong, lan iya ing kabehing batine, sanadyan narima ing Hyang Widdhi, iku wong tan wruh ing, kanikmatanipun.
Wong tan narima pan dadi becik, tinitah Hyang Manon, iku iyo rerupane, kaya wong ingkang ngupaya ilmi, lan wong nedya ugi kapintaranipun.
Iya pangawruh kang den senengi, kang wus sengsem batos, miwang ingkang kapinteran dene, ing samubarang karya ta uwis, nora kanggo lathi, kabeh wus kawengku.
Uwis pinter nanging iku maksih, nggonira pitados, ing kapinterane ing undhake, utawa unggahe kawruh yekti, durung marem batin, lamun durung tutug.
Yen wong kurang panrimo ugi, iku luwih awon barang gawe aja age-age, anganggowa sabar sarta ririh, dadi barang kardi resik tur rahayu.
Lan maninge babo dipun eling, ing pituturingong, sira uga padha ngemplak emplak, iya marang kang jumeneng Aji, ing lair myang batin, den ngarsa kawengku.
Kang jumeneng iku ambawani, karsaning Hyang Manon, wajib padha wedi lan batine, aja mamang parintah ing Aji, nadyan enom ugi, lamun dadi Ratu.
Nora kena iya den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya priye nggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu.
Nanging kaprah ing masa samangkin, anggepe angrengkoh, tan rumangsa lamun ngempek empek, ing batine datan nedya eling, kamuktene iki, ngendi sangkanipun.
Lamun eling jalarane mukti, pasthine tan mengkuh, saking durung batin ngrasakake, ing pitutur engkang dingin-dingin, dhasar tan paduli, wuruking wong sepuh.
Dadine sabarang tindakneki, arang ingkang tanggon, saking durung ana landhesane, arip crita tan ana kang eling, elinge pribadi, dadi tanpa dhapur.
Mulanipun wekasingsun iki, den kerep tetakon, aja isin ngatokken bodhone, saking bodho witing pinter ugi, mung Nabi sinelir, pinter tanpa wuruk.
Sabakdane tan ana kadyeki, pinter tanpa takon, apan lumrah ing wong urip kiye, mulane wong anom den taberi, angupaya ilmu pandadi pikukuh.
Kacek uga wong kang tanpa ilmu, sabarange kaot, dene ilmu iku ingkang kangge, sadinane gegulangan dingin, pan sarengat ugi, parabot kang perlu.
Ilmu sarengat pan iku dadi, wadhah kang sayektos, kawruh tetel wus kawengku kabeh, kang sarengat kanggo lair batin, mulane den sami, brangta maring ilmu.
PUPUH X
ASMARANDANA
Padha netepana ugi, kabeh parentahing syara, terusna lair batine, salat limang wektu uga, tan kena tininggala, sapa tinggal dadi gabug, yen misih remen neng praja.
Wiwitane badan iki, iya saking ing sarengat, anane Manusa kiya, rukune Islam lelima, tan kerja tininggala, pan iku parabot agung, mungguh uripe neng donya.
Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apantosa kuwasane, ning aja tan linakwan, sapa tan ngalakanana, datan wurung nemu bebendu, mula padha estokeno.
Parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh marang Nabiu’ullah, ing Dalil Khadis enggone, aja padha sembrana, rasakna den karasa, Dalil Khadis rasanipun, dimene padhang tyasira.
Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam.
Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman, banget paes neng dunya, siang dalu dipun emut, wong urip manggih antaka.
Lawan aja angkuh bengis, lengus lanas calak lancang, langar ladak sumalonong, aja ngidak aja ngepak, lan aja siya-siya, aja jahil dhemen padu, lan aja para wadulan.
Kang kanggo ing masa iku, priyayi nom kang den gulang, kaya kang wus muni kowe, kudu lumaku kajinan, pan nora nganggo murwat, lunga mlaku kudhung sarung, lumaku den dhodhokana.
Datanpa kasur Sayekti, satriya tan wruh ing tata, ngunggulaken satriyane, lamun karem pinondhokan, anganggowo jajaran, yen niyat lung anawur, aja ndhodhoken manusa.
Denene wedi sarta sih, anggonira mengku bala, miwah yen angran ing gawe, den abisa minta-minta, karyane prawadyanira, ing sagawe gawenipun, ing karyanira prayoga.
Sarta kawruhana batin, gegantunganing pratopan, darapon pethel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya ywa, dumeh isih sireku, lamun leda patrapana.
Nadyan sanak antaneki, yen leda hya pinatrapan, murwaten lawan dosane, darapon padha wediya, ing wuri awya padha, angladeni kayaniraku, aja pegat den warata.
Lan meninge suta mami, mungguh anggering kawula, den suka sukur ing batos, aja pegat ing panedha,
maring Kyang kang misesa ing, rahina wenginipun, mulyaning Nagara kita.
Iku uga dipun eling, kalamun mulyaning praja, mufa’ati mring wong akeh, ing rina wengi tan pegat, nenedha mring Pangeran, luluse kraton Sang Prabu, miwah arjaning negara.
Iku wewalesing batin, mungguh wong suwiteng Nata, ing lair setya tuhu, kalawan nyadhang ing karsa, badan datan nglenggana, ing siyang dalu pan katur, atur pati uripira.
Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya setiya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna bathinipun, ing tyas datan pangrasa.
Awite dadi priyayi, sapa kang gawe ing sira, tan weling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba, mulane ing batinipun, pangetunge lir wong dagang.
Mung mikir gelise mulih, rerubanira duk dadya, ing rina wengi ciptane, kepriye lamun bisaa, males sihing bandara, lungguhe lawan tinuku, tan wurung angrusak desa.
Pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota, picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa, polahe salang tunjang, padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga.
Poma padha dipun eling, nganggo syukur lawan lila, nrimaa ing pepancene, lan aja amrih sarama, mring sedya nandhang karya, lan padha amriha iku, harjane kang desa-desa.
Wong desa pan aja ngesthi, anggone anambut karya, sesawah miwah tegale, nggaru maluku tetapa, aja den owah dimene, tulus nenandur jagung, pari kapas lawan jarak.
Yen desa akeh wongneki, ingkang bathi pasthisira, wetune pajeg undhake, dipun reh pamrihira, aja kongsi rekasa, kang wani kalah rumuhun, kurang pajeg srantekena.
Lamun tan mangkono ugi, karem masesa wong desa, salin bakul pendhak gawe, pamitunge jung sacacah, bektine karo belah, temahan desane suwung, pyayine jaga pocetan.
Poma aja anglakoni, kaya pikir kang mangkono, satemah lingsem dadine, den sami angestakena, mring pitutur kang arja, nora cacad alanipun, wong nglakoni kebecikan.
Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembrana, ewuh yen nuruta, malah mudhar pitutur, pangrasane pan wus wignya.
Aja na mangkono ugi, yen ana wong kang carita, rungokena saunine, ingkang becik sireng gawa,bawungen ingkang ala, anggiten sajroning kalbu, ywa nganggo budi nonoman.
PUPUH XI
S I N O M
Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning jalmi, amiguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere den alingi, bodhone didokok ngayun, pamrihe den inaa, mring padha padhaning jalmi, suka bungah den ina sapadha-padha.
Ingsun uga tan mangkana, baliku kang sun alingi, kabisan sun dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune angluwihi, nanging tenanipun cubluk, suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tanpa ngrasa prandene sugih carita.
Tur ta duk masihe bocah, akeh temen kang nuruti, lakune wong kuna-kuna, lelabetan kang abecik, miwah carita ugi, kang kajaba saking embuk, iku kang aran kojah, suprandene ingsun iki, teko nora nana undaking kabisan.
Carita nggonsun nenular, wong tuwa kang momong dingin, akeh kang padha cerita, sun rungokna rina wengi, samengko isih eling, sawise diwasa ingsun, bapa kang paring wulang, miwah ibu mituturi, tatakrama ing pratingkah karaharjan.
Nanging padha estokana, pitutur kang muni tu’ia, yen sira nedya raharja, anggone pitutur iki, nggoningsun ngeling-eling, pitutur wong sepuh-sepuh, mugi padha bisa, anganggo pitutur iki, ambrekati wuruke wong tuwa-tuwa.
Lan aja nalimpang padha, mring leluhur dhingin dhingin, satindake den kawruhan, ngurangi dhahar lan guling, nggone ambanting dhiri, amasuh sariranipun, temene kang sinedya, mungguh wong nedheng Hyang Widdhi, lamun temen lawas enggale tinekan.
Hyang sukma pan sipat murah, njurungi kajating dasih, ingkang temen tinemenan, pan iku ujare Dalil, nyatane ana ugi, nenggih Ki Ageng Tarub, wiwitira nenedha, tan pedhot tumekeng siwi, wayah buyut canggah warenge kang tampa.
Panembahan senopatya, kang jumeneng ing Matawis, iku barang masa dhawuh, inggih ingkang Hyang Widdhi, saturune lestari, saking berkahing leluhur, mrih tulusing nugraha, ingkang keri keri iki, wajib uga niruwa lelakonira.
Mring leluhur kina-kina, nggonira amati dhiri, iyasa kuwatanira, sakuwatira nglakoni, cegah turu sathithik, lan nyudaa dhaharipun, paribara bisaa, kaya ingkang dingin dingin, aniruwa sapretelon saprapatan.
Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.
Pamore gusti kawula, punika ingkang sayekti, dadine socaludira, iku den waspada ugi, gampange ta kaki, tembaga lan emas iku, linebur ing dahana, luluh awor dadi siji, mari nama tembaga tuwin kencana.
Yen aranana kencana, dene wus awor tembagi, yen aranana tembaga, wus kaworan kancanedi, milanya den westani, aran suwasa punika, pamore mas tembaga, mulane namane salin, lan rupane sayekti yen warna beda.
Cahya abang tuntung jenar, puniku suwasa murni, kalamun gawe suwasa, tembaga kang nora becik, pambesate tan resik, utawa nom emasipun, iku dipunpandhinga, sorote pasthi tan sami, pan suwasa bubul arane punika.
Yen sira karya suwasana, darapon dadine becik, amilihana tembaga, oliha tembaga prusi, biresora kang resik, sarta masira kang sepuh, resik tan kawoworan, dhasar sari pasti dadi, iku kena ingaranan suwasa mulya.
Puniku mapan upama, tepane badan puniki, lamun karsa ngawruhana, pamore kawula Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan napsu, luwamah lan amarah, sarta suci lahir batin, pedimene apan sarira tunggal.
Lamun mangkonoa, sayektine nora dadi, mungguh ilmu kang sanyata, nora kena den sasabi, ewoh gampang sayekti, punika wong darbe kawruh, gampang yen winicara, angel yen durung marengi, ing wetune binuka jroning wardaya.
Nanging ta sabarang karya, kang kinira dadi becik, pantes yen tinalatenan, lawas-lawas bok pinanggih, den mantep ing jro ngati, ngimanken tuduhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa udani, apan ana dalile kang wus kalawan.
Marang leluhur sedaya, nggone nenedha mring Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira, lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur lampah.
Tampane nganggo alingan, pan padha alaku tapi, iku kang kinaryo sasap, pamriha aja katawis, jub rina lawan kabir, sumungah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton Jawi, tinampelan anggape pan kumawula.
Punika laku utama, tumindak sarto kekaler, nora ngatingalke lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, pan jero pangarahipun, asore ngemurasa, prayoga tiniru ugi, anak putu aja ana ninggal lanjaran.
Lan maning ana wasiyat, prasapa kang dingin dingin, wajib padha kawruhana, anak putu ingkang kari, lan aja na kang wani, nerak wewaleripun, marang leluhur padha, kang minulyakaken ing Widdhi, muga-muga mufaatana ing darah.
Wiwitan ingkang prasapa, Ki Ageng Tarup memaling, ing satedhak turunira, tan linilan nganggo keris, miwah waos tan keni, kang awak waja puniku, lembu tan kena dhahar, daginge pan nora keni, anginguwa marang wong wadon tan kena.
Dene Ki ageng Sela, prasape ingkang tan keni, ing satedhak turunira, nyamping cindhe den waleri, kapindhone tan keni, ing ngarepan nandur waluh, wohe tan kena dhahar, Panembahan Senopati, ingalaga punika ingkang prasapa.
Ingkang tedhak turunira, mapan nora den lilani, anitiha kuda napas, lan malih dipun waleri, yen nungganga turangga, kang kakoncen surinipun, dhahar ngungkurken lawang, wuri tan ana nunggoni, dipun emut punika mesthitan kena.
Jeng Sultan Agung Mataram, apan nora anglilani, mring tedhake yen nitiha, kapal bendana yen jurit, nganggo waos tan keni, lamun linandheyan wregu, datan ingaken darah, yen tan bisa nembang kawi, pan prayoga satedake sinauwa.
Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madek ing Kartasura, prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun, Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki, tan rinilan ujung astana ing Betah.
Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda, kabeh aja na kang lali, lawan aja nggogampil, puniku prasapanipun, nenggih Kang jeng Susunan, Pakubuwana ping kalih, mring satedhak turunira linarangan.
Dhahar apyun nora kena, sinerat tan den lilani, nadyan nguntal linarangan, sapa kang padha nglakoni, narajang waler iki, pan kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa, linabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.
Prasapa Kangjeng Susunan, Pakubuwana kaping tri, mring satedhak turunira, apan nora den lelani, ngawe andel ugi, wong seje ing jinipun, apan iku linarangan, anak putu wuri-wuri, poma aja wani anrajang prasapa.
Wonten waler kaliwatan, saking luhur dingin dingin, linarangan angumbaha, wana Krendhawahaneki, dene kang amaleri, Sang Danan Jaya rumuhun, lan malih winaleran, kabeh tedhak ing Matawis, yen dolana mring wana tan kena.
Dene sesirikanira, yen tedhak ing Demak nenggih, mangangge wulung tan kena, ana kang nyenyirik malih, bebet lonthang tan keni, yeku yen tedhak Madiyun, lan paying dadaan abang, tedhak Madura tan keni, yen nganggowa bebathikan parang rusak.
Yen tedhak Kudus tak kena, yen dhahara daging sapi, yen tedhak Sumenep iku, nora kena ajang piring, watu tan den lilani, lawan kidang ulamipun, tan kena yen dhahara, miwah lamun dhahar ugi, nora kena ajang godhong pelasa.
Kabeh anak putu padha, eling-elingan ywa lali, prasapa kang kuna-kuna, wewaler leluhur nguni, estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani nerak, pasti tan manggih basuki, Sinom salin Girisa ingkang atampa.
PUPUH XII
G I R I S A
Anak putu den estokna, warah wuruke pun bapa, aja na ingkang sembrana, marang wuruke wong tuwa, ing lair batin den bisa, anganggo wuruking bapa, ing tyas den padha santosa, teguhana jroning nala.
Aja na kurang panrima, ing pepasthening sarira, yen saking Hyang Moha Mulya, kang nitahken badanira, lawan dipunawas padha, asor unggul waras lara, utawa beja cilaka, urip utawa antaka.
Pan iku saking Hyang Suksma, miwah ta ing umurira ingkang cedhak, lan kang dawa, wus pinasthi ing Hyang Suksma, duraka yen maidowa, miwah yen kurang panrima, ing lokhilmahfut punika tulisane pan wus ana.
Iku padha kawruhana, sesikune badanira, aywa marang kang amurba, Kang Misesa, marang sira, yen sira durung uninga, prayoga atatakona, mring kang padha wruh ing ma’na, iku kang para ulama.
Kang wus wruh rahsaning kitab, darapon sira weruha, wajib moka ing Hyang Suksma, wiwah wajibing kawula, lan mokale kawruhana, miwah ta ing tatakrama, sarengat dipunwaspada, batal kharam takokeno.
dahnya Budaya Jawa
Cerkak “KATHOK KODHOK”
KATHOK KODHOK
Dening : Dhidhik Setiabudi
Esuk-esuk wong pada sibuk menyang papan pegaweane, bakul-bakul pada mangkat neng pasar, bocah-bocah pada mangkat neng sekolahan. Aku sing lagi prei kuliyah lungguh neng teras karo sms-an kancane. Merga ora ana sing gelem bales smsku, aku menyat lan mlaku nuju omahe mbakyuku sing ora adoh saka omahku. Tekan omahe mbakyuku ponakanku sing cilik dhewe lagi nangis mewek-mewek.
Tangise ora kaya biyasane, gawe jengkele ibune sing lagi sibuk nyiapake mulang menyang sekolah. Bojone durung mulih saka tilik sawah saka bar subuh.
Dene anake liyane wis padha menyang neng sekolahe dhewe-dhewe, merga dina kuwi ana ulangan semester.
“Dhik, tulung titip Teta, dijaga ya! Dineng-nengi ben ora ngganggu. Aku jan lagi sibuk tenan lho. Nek arep sarap kae neng meja makan ana sega goreng.” Panjaluke mbakyuku iki karo mangkat mulang menyang sekolahan.
“Ya, dak neng-nengane. Sega gorenge tak entekne ya mbak?”
Aku banjur mlaku nyedhaki ponakanku sing umure durung ana patang taun.
“Udah yah… Mama udah berangkat sekolah tuh. Kan kasihan kalau adik nangis terus.. ntar mamah enggak jadi kerja, kalu enggak kerja mamah enggak punya duwit, terus Teta besok makan pake apa hayo?”
Aku omong nganggo basa Indonesia. Pancen bocah jaman saiki basa jawa sing alus ora padha ngerti. Mulane ing kulawargane mbakyuku basa padinane campur-campur. Malah luwih akeh padha nganggo basa Indonesia.
Rasane lucu yen aku nyoba nganggo basa jawa sing alus. Bocah-bocahe padha ora seneng. Banjur aku mau miwiti nganggo basa Indonesia.
Bocah-bocah uga wis ora nyebut rama utawa ibu marang wongtuwane, nanging wis migunakake tembung Papah utawa Mamah.
“Kenapa menangis terus Teta? Apa karena dinakali Mama?”
“We…weeee… Teta mau dibelikan baju baru …we…wee..”
“O… Teta minta dibelikan baju baru?..”
Teta kepengin ditukokake klambi anyar. Teta nangis mewek-mewek jalaran kepengin ditukoke klambi anyar kaya dene duweke Imah, kancane ponakanku sing umahe arep-arepan karo umahe dheweke.
Klambi anyare Imah gambar Dora. Gambar kartun sing ponakanku seneng banget anggone nonton nek neng tv.
Mbok menawa bapak ibune mung durung sempat wae. Aku nyoba ngeneng-enengi ponakanku sing lagi mewek-mewek kuwi.
“Besok Om belikan ya… mau enggak?”
Krungu jawabanku mau, dheweke banjur ketok lega. Ngusap luh neng
pipine, senajan isih mimbik-mimbik manja banget.
“Besok Om belikan yang namanya celana kodok ya? Teta tahu enggak?”
Jawabane ponakanku mung gedhek-gedhek. Ora ngerti apa kuwi sing jenenge kathok kodhok.
Kamangka dhek jaman cilikanku, kathok kodhok kuwi istimewa banget. Saben bocah yen krungu tembung kathok kodhok bisa banjur senenge ora mekakat. Kathok kodhok dadi favorite bocah-bocah. Mergane yen dienggo anget tur ora mlotrak-mlotrok.
Aku banjur crita marang ponakanku ngenani kathok kodhok kuwi.
Aku crita pengalamanku dhewe karo kathok kodhok anyarku.
Ing jaman semana aku duwe kathok kodhok sing anyar. Kathong sing nembe ditukoke ibuku merga aku rangking siji neng sekolah.
Isuk-isuk dina minggu aku dolanan ingkling karo kanca-kancaku neng ngarep omahe tanggaku. Aku dolanan karo Asih, Salim, Kawer, Udin Lan Awi. Merga aku dolanane karo bocah-bocah kang luwih tuwa tinimbang aku, isuk kuwi aku klah terus. Kawer, Udin lan Asih menang terus, aku, Salim lan Awi sing umure lewih enom kalah.
Kawer pancen juwarane nek dolanan ingkling, bocahe langkahe dawa, lincah lan ora pernah salah. Nembe sedilit diwiwiti Kawer langsung oleh sawah dhisik.
“Aku lan bala-balaku ya durung wiwit, Kawer wis oleh sawah.”
Nelangsane atiku wektu kuwi.
Saya awan aku lan bala-balaku saya kalah saka Kawer lan balane. Wektu kuwi kira-kira jam 10 awan ujug-ujug ana suwara pret…. preet…. preeet…. preeeeeetttt………… Sarapanku mau isuk metu kabeh ing tengah-tengahe dolanan ingkling, aku ngobrok (ngising neng kathok). Suwara pret…. preet…. preeet…. kuwi banjur gawe ambune plataran omahe tanggaku sing wah… jan ora karuwan. Saking akehe regedanku sing metu ora sengaja, regendanku ngasi pada metu pating klapret neng sikil lan lemah sakngisorku. Kathok kodhok anyarku uga dadi robah warnane lam ambu banget.
Kanca-kancaku banjur padha bengok alok:
“Oeeee, Dhidhik ngobrok! Dhidhik ngising neng kathok!”
Mboko siji kanca-kancaku padha mlayu nyingkiri aku karo nutup irunge.
Aku mung bisa nangis nggugug ditinggal kanca-kancaku. Aku nangis merga kathok kodhokku sing anyar dadi reged kena abyuran saka wetengku. Aku isin banget. Ora let suwe, ana wong sing nyedhaki aku, sing nyedhaki aku ora liya ya ibuku.
Aku ora dinesoni. Ibuku malah mung gumujeng. Aku banjur dicandhak digawa bali, aku digawa menyang menyang kamar mandi diresiki Ibuku.
Ibuku ora wegah ngresiki regedanku. Ibuku ora wegah nyedhaki ambune regedanku. Ibuku ora wegah nyandhak awakku lan nyawiki aku. Ibuku ora duka weruh kathok kodhok anyarku dadi reged. Lan aku banjur meneng anggonku nangis. Aku mandeng ibu sing isih gumujeng lan gawe tentreme atiku.
Aku adus banjur ganti klambi lan dolan meneh karo kanca-kancaku mau.
Aku ora isin sanajan diledheki terus neng kanca-kancaku. Apa meneh Udin sing pancen seneng banget ngedheki bocah, aku diledheki tukang ngobrok, kanca-kancaku kabeh ya padha melu nyoraki aku tukang ngobrok.
Ngrungke critaku mau, Teta ngguyu kepinggkel-pingekel lali karo tangisane. Senajan bocah tesih cilik, Teta kalebu bocah cerdas. Dheweke pinter lan gampang mudeng yen ngrungokake crita. Jare wong-wong daya imajinasine Teta wis dhuwur, wis bisa mbayangake sing dicritakake wong marang dheweke.
Aku ndonga moga ponakanku iki dadi wong sing pinter.
Sakwise tak critani penglaman jaman aku tesih cilik, Teta tak jak sarapan karo sega goring sing wis disiapake Ibune sedurung mangkat mulang mau.
Aku lan Teta sarapan.
Jam 9 awan Bapake teta durung mulih saka sawah wiwit mau isuk, Teta njuk kelingan karo janjiku mau sing jarene arep nukokake kathok kodhok.
Aku karo Teta menyang pasar coba nggolek kathok kodhok sing kaya biyen aku tau duwe. Ning jaman saiki wis ora ngetren maneh kathok kodhok sing kaya jaman biyen aku cilik. Bakul-bakul ya wis padha ora adol kathok sing model kaya ngono.
Aku sidane nukokake Teta klambi gambar Dora persis kaya duweke Imah. Regane limolas ewu perak. Bali ngomah Teta seneng banget klambine anyar, nurut dalan dheweke nembang pertandha bungahe ati. Aku uga seneng bisa gawe seneng atine ponakanku.
Tekan ngomahe Teta, Kangmasku utawa bapake Teta wis lagi lungguh neng teras. Teta tak pasrahake marang bapake njur aku mulih bali neng omahku.
Sakwise tekan ngomahku, aku kelingan pengalaman mau, pengalaman sing nembe tak critakake marang Teta, aku mung bisa ngguyu dhewe. Kathok kodhokku sing anyar wis reged lan mambu. Nanging aku bisa nemu gumuyune ibu sing ora ilang saka rasaku ngasi sakprene.
Yen ing kulawarga isih ana ibu sing bisa gumuyu, ngresiki reregedaning anak, sepira begjane wong neng alam donya. Yen akeh sing isih padha bisa gumuyu uga ngresiki reregeding urip bebrayan. Mesthi urip bakal padha tentrem ora ana mungsuh lan tindakan sing gawe ora kepenak marang liya
Geografi
Bagian selatan wilayah Kabupaten Purworejo merupakan dataran rendah. Bagian utara berupa pegunungan, bagian dari Pegunungan Serayu. Di perbatasan dengan DIY, membujur Pegunungan Menoreh.
Purworejo berada di jalur utama lintas selatan Pulau Jawa. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api, dengan stasiun terbesarnya di Kutoarjo.
Pembagian administratif
Kabupaten Purworejo terdiri atas 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 469 desa dan 25 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Purworejo.
Sejarah
Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip), jika dikonversikan dengan kalender Masehi adalah tanggal 5 Oktober 901. Ini menunjukkan telah adanya pemukiman sebelum tanggal itu. Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada abad ke-15 juga melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari Bali ke Pakuan.
Pada masa Kesultanan Mataram hingga abad ke-19 wilayah ini lebih dikenal sebagai Bagelen (dibaca /ba·gÉ™·lÉ›n/). Saat ini Bagelen malah hanya merupakan kecamatan di kabupaten ini.
Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada Hindia-Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (akibat Perang Diponegoro), wilayah ini digabung ke dalam Karesidenan Kedu dan menjadi kabupaten. Belanda membangun pemukiman baru yang diberi nama Purworejo sebagai pusat pemerintahan (sampai sekarang) dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Kota baru ini adalah kota tangsi militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam dipusatkan pemukimannya di sini. Sejumlah bangunan tua bergaya indisch masih terawat dan digunakan hingga kini, seperti Masjid Jami' Purworejo (tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879).
Alun-alun Purworejo, seluas 6 hektar, konon adalah yang terluas di pulau jawa
Perekonomian
Pertanian
Aktivitas ekonomi kabupaten ini bergantung pada sektor pertanian, di antaranya padi, jagung, ubi kayu dan hasil palawija lain. Sentra tanaman padi di Kecamatan Ngombol, Purwodadi dan Banyuurip. Jagung terutama dihasilkan di Kecamatan Bruno. Ubi kayu sebagian besar dihasilkan di Kecamatan Pituruh.
Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Purworejo menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah (Bahasa Jawa: empon-empon), yaitu: kapulaga, kemukus, temulawak, kencur, kunyit dan jahe yang sekarang merupakan komoditas biofarmaka binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Selain untuk bumbu penyedap masakan, juga untuk bahan baku jamu. Empon-empon yang paling banyak dihasilkan Purworejo adalah kapulaga. Sentra produksi di Kecamatan Kaligesing, Loano dan Bener. Konsumen tanaman empon-empon adalah perajin jamu gendong, pengusaha industri jamu jawa dan rumah makan.
Sekitar 75 pabrik jamu di Jawa Tengah mengandalkan bahan baku dari kabupaten ini. Demikian juga pengusaha jamu tradisional di Cilacap, seperti : Jaya Guna, Serbuk Sari, Serbuk Manjur dan Cap Tawon Sapi. Pembeli biasanya mendatangi sekitar lima toko penyedia bahan jamu di Pasar Baledono.
Kecamatan Grabag dikenal sebagai sentra kelapa yang produksinya selain dimanfaatkan sebagai kelapa sayur, juga diolah menjadi gula merah dan minyak kelapa serta merupakan pusat penghasil mlinjo yang buahnya dijadikan makanan kecil, yaitu : emping. Kecamatan Kaligesing, Bener, Bruno dan Bagelen dikenal sebagai penghasil durian di Kecamatan Pituruh anda akan menemukan sentra hortikultura/pusat hasil buah, yaitu : buah pisang, karena di antara pasar yang ada di Purworejo, Pituruh menyumbang 40% pisang dari keseluruhan pisang di Purworejo.Komoditas pisang di pasar Pituruh dihasilkan dari desa Ngandagan,Kalikotes,Klaigintung,Pamriyan dan Petuguran
Perkebunan
Kelapa merupakan tanaman perkebunan rakyat sebagai sumber penghasilan kedua setelah padi bagi sebagian besar petani di Kabupaten Purworejo. Komoditas unggulan perkebunan yang lain, yaitu : Kopi, Karet, Kakao, Vanili (tanaman tahunan) dan Tebu serta Nilam (tanaman semusim). Komoditi Tembakau rakyat sebagai usaha tani komersial, juga telah memberi kontribusi kepada pendapatan negara (Devisa) dan pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pada 2008 dan 2009 Kabupaten Purworejo mendapat Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT). Upaya pemerintah pusat dalam pembangunan perkebunan di daerah, telah merintis pengembangan tanaman jarak pagar yang diharapkan dapat bermanfaat dalam mewujudkan desa mandiri energi sebagai solusi menanggulangi kelangkaan bahan bakar.
Peternakan
Di bidang peternakan, ternak yang menjadi khas Purworejo adalah kambing peranakan etawa (PE), yakni kambing dari India yang memiliki postur tinggi besar. Peternakaan kambing PE terutama di Kecamatan Kaligesing. Sisanya dari Kecamatan Purworejo, Bruno, dan Kemiri. Di Kecamatan Kaligesing, kambing itu dikawinkan dengan kambing lokal, sehingga tercipta kambing PE ras Kaligesing. Bagi sebagian besar peternak di Purworejo, memiliki kambing ini merupakan kebanggaan tersendiri, ibarat memiliki mobil mewah. Setiap tahun ribuah kambing dipasarkan ke luar Purworejo, termasuk ke Jawa Timur (Ponorogo, Kediri, Trenggalek), Sumatera (Bengkulu, Jambi), Riau dan Kalimantan(Banjarmasin), bahkan pada 2005 - 2006 pernah ekspor ke Malaysia.
Industri
Pabrik gula Purworejo (tahun 1910).
Di bidang industri, Purworejo memiliki satu industri tekstil di Kecamatan Banyuurip. Selain tekstil, di kecamatan ini ada dua industri pengolahan kayu dengan 387 tenaga kerja. Satu industri yang sama dengan 235 tenaga kerja di Kecamatan Bayan. Saat ini hasil industri yang mulai naik daun adalah pembuatan bola sepak. Industri ini mulai dirintis tahun 2002 di Desa Kaliboto, Kecamatan Bener, bola sepak bermerek Adiora itu sudah menembus pasar mancanegara. Meski baru setahun berdiri, pembuatan bola sepak itu mewarnai kehidupan masyarakat Kecamatan Bener. Di Tahun 2007 berdiri cabang dari rokok Sampoerna di Kecamatan Bayan yang telah memberi kesempatan kerja relatif banyak dengan SDM tidak hanya yang berasal dari Kabupaten Purworejo saja, karena banyak juga tenaga kerja berasal dari luar kabupaten, yaitu : dari Kabupaten Wonosobo dan Temanggung.
Pariwisata
Dalam bidang pariwisata, purworejo mengandalkan pantainya di sebelah selatan yang bernama "Pantai Ketawang", "Pantai Keburuhan (Pasir Puncu), "Pantai Jatimalang" didukung dengan gua-gua : "Gua Selokarang" dan "Sendang Sono", di Sendang Sono (artinya : Kolam dibawah pohon Sono) masyarakat mempercayai bahwa mandi disendang tersebut akan dapat mempertahankan keremajaan. Goa Seplawan, terdapat di kecamatan Kaligesing. Goa ini banyak diminati wisatawan karena keindahan goa yang masih asli dan juga keindahan pemandangan alamnya serta hasil buah durian dan kambing ettawa sebagai salah satu ciri khas hewan ternak di Kabupaten Purworejo. Disamping itu, terdapat juga air terjun "Curug Muncar" dengan ketinggian ± 40m yang terletak di kecamatan Bruno dengan panorama alam yang masih alami. gua pencu di desa ngandagan,merupakan bentuk benteng seperti gua pada zaman belanda;dan pada masa itu gua pencu pernah didatangi oleh presiden sukarno,tapi sekarang sudah tidak terawat karena kurang pedulinya aparatur pemerintahan desa,dan jika anda ingin menikmati suasana sejuknya alam anda d\tinggal melanjutkan perjalanan ke utara karena disana anda dapat menemukan hutan pinus yang sangat sejuk dan dingin engan panorama pegunungan dengan hamparan ladang petani yang permai, Geger menjangan sebelah kolam renang artatirta dengan panorama prgunungan yang asri dari puncak. Kawasan gunung tugel sebelah utara kutoarjo dengan panorama prgunungan yang asri dari puncak. Jalan Ketawang Kutoarjo tempat berlangsungnya Balapan motor tiap malam minggu dengan aksi-aksi yang menakjubkan kreasai motr anak-anak purworejo. Alun-alun kutoarjo berkumpulnya anak-anao purworejo basecamp bikers purworejo berbagai motor anak-anak purworejo yang full modivication.
Makanan khas daerah
Beberapa masakan dan makanan khas Purworejo antara lain:
- Dawet Hitam: sejenis cendol yang berwarna hitam, sangat digemari pemudik dari Jakarta.
- Tahu Kupat (beberapa wilayah menyebut "kupat tahu"), sebuah masakan yang berbahan dasar tahu dengan bumbu pedas yang terbuat dari gula jawa cair dan sayuran seperti kol dan kecambah.
- Geblek : makanan yang terbuat dari tepung singkong yang dibentuk seperti cincin, digoreng gurih
- Clorot : makanan terbuat dari tepung beras dan gula merah yang dimasak dalam pilinan daun kelapa yang masih muda (janur kuning). (Berasa dari kecamatan Grabag)
- Rengginang : gorengan makanan yang terbuat dari ketan yang dimasak, berbentuk bulat, gepeng.
- Lanting : makanan ini bahan dan bentuknya hampir sama dengan geblek, hanya saja ukurannya lebih kecil. Setelah digoreng lanting terasa lebih keras daripada geblek. Namun tetap terasa gurih dan renyah.
- Kue Satu : Makanan ini terbuat dari tepung ketan, berbentuk kotak kecil berwarna krem, dan rasanya manis.
- Kue Lompong : Berwarna hitam, dari gandum berisi kacang dan dibugkus dengan daun pisang yang telah mengering berwarna kecoklatan (klaras).
- Tiwul punel: Terbuat dari gaplek ubi kayu
- Krimpying : Makanan ini berbahan dasar singkong, seperti lanting tapi berukuran lebih besar dan lebih keras, berwarna krem, bentuknya bulat tidak seperti lanting yang umumnya berbentuk seperti angka delapan. Rasa makanan ini gurih.
- cenil: makanan ini tebuat dari tepung ketela.
- Awuggawug: terbuat dari tepung beras ketan yang berisi gula jawa rasanya manis.
- Lapis: dari tepung beras ketan.
Transportasi
Purworejo terletak di jalur Selatan Jawa yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan kota-kota lain di pantai Selatan Jawa. Purworejo dapat ditempuh melalui darat menggunakan moda transportasi jalan raya dan kereta api. Stasiun besar di kabupaten ini terletak di Kutoarjo yang disinggahi kereta api ekonomi jurusan Bandung Kiaracondong - Stasiun Yogyakarta, Bandung - Madiun dan Purwokerto - Surabaya serta kereta bisnis seperti Senja Utama Solo dan Senja Utama Yogya. Kereta eksekutif yang singgah di stasiun ini adalah Taksaka II. Dari stasiun Kutoarjo sendiri juga memberangkatkan kereta api sendiri yaitu Sawunggalih Utama jurusan Purworejo - Jakarta Pasar Senen serta Sawunggalih Selatan jurusan Purworejo - Bandung
Terminal bis utama di kabupaten ini terletak di antara Purworejo - Kutoarjo tepatnya di kecamatan Banyuurip. Sementara itu, Purworejo menghubungkan kota-kota Kebumen di sebelah barat, Wonosobo di sebelah utara, Magelang di sebelah timur laut, dan kota Wates (Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta) di sebelah timur. Di sebelah selatan kota Purworejo dikenal jalan raya yang diyakini sebagai bagian dari proyek pembangunan jalan raya Trans-Jawa, Anyer-Panarukan, saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa yang saat ini lebih dikenal dengan jalan Daendels.
Terminal bis utama di kabupaten ini terletak di antara Purworejo - Kutoarjo tepatnya di kecamatan Banyuurip. Sementara itu, Purworejo menghubungkan kota-kota Kebumen di sebelah barat, Wonosobo di sebelah utara, Magelang di sebelah timur laut, dan kota Wates (Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta) di sebelah timur. Di sebelah selatan kota Purworejo dikenal jalan raya yang diyakini sebagai bagian dari proyek pembangunan jalan raya Trans-Jawa, Anyer-Panarukan, saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa yang saat ini lebih dikenal dengan jalan Daendels.
Legenda
Tundan Obor: setiap musim penghujan, saat hujan rintik, pada senja hari (surup), terdengar suara bergemuruh seperti kentongan ditabuh di sepanjang kali Jali, dimana akan ditemukan beberapa barisan obor yang melayang sepanjang sungai Jali, dari Gunung Sumbing hingga ke pantai, sampai saat ini beberapa warga masyarakat masih meyakini hal ini (dan beberapa mengaku masih menyaksikan). Sebagai bagian dari daerah pesisir Pantai Selatan, legenda Nyi Roro Kidul juga beredar luas di kalangan penduduk.
Kesenian
Purworejo memiliki kesenian yang khas, yaitu dolalak, tarian tradisional diiringi musik perkusi tradisional seperti : Bedug, rebana, kendang. Satu kelompok penari terdiri dari 12 orang penari, dimana satu kelompok terdiri dari satu jenis gender saja (seluruhnya pria, atau seluruhnya wanita). Kostum mereka terdiri dari : Topi pet (seperti petugas stasiun kereta), rompi hitam, celana hitam, kacamata hitam, dan berkaos kaki tanpa sepatu (karena menarinya di atas tikar). Biasanya para penari dibacakan mantra hingga menari dalam kondisi trance (biasanya diminta untuk makan padi, tebu, kelapa) kesenian ini sering disebut juga dengan nama Dolalak
Dzikir Saman mengadopsi kesenian tradisional aceh dan bernuansa islami, dengan penari yang terdiri dari 20 pria memakai busana muslim dan bersarung, nama Dzikir Saman diambil dari kata samaniyah (arab, artinya : sembilan), yang dimaksudkan sembilan adegan dzikir. diiringi musik perkusi islami ditambah kibord dan gitar. pada jeda tiap adegan disisipi musik-musik yang direquest oleh penonton)
Tari Dolalak
Tari dolalak merupakan tarian khas daerah Purworejo. Tari ini merupakan percampuran antar budaya Jawa dan budaya barat. Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda sering menari-nari dengan menggunakan seragam militernya dan diiringi dengan nyanyian yang berisi sindiran sehingga merupakan pantun. Kata dolalak sebenarnya berasal dari notasi Do La La yang merupakan bagian dari notasi do re mi fa so la si do yang kemudian berkembang dalam logat Jawa menjadi Dolalak yang sampai sekarang ini tarian ini menjadi Dolalak
.
Tokoh dari Purworejo
- Jan Toorop, pelukis Belanda.
- A.J.G.H. Kostermans, pakar botani Indonesia.
- Ahmad Yani, pahlawan revolusi.
- Sarwo Edhie Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
- Bustanul Arifin, mantan Kabulog Orde Baru
- Oerip Soemohardjo, pendiri TNI.
- Johan Hendrik Caspar Kern, ahli bahasa dan orientalis
- Syekh Imam Puro, Ulama Purworejo.
- Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya" (masih diperdebatkan - lihat artikel).
- Kyai Sadrach, Tokoh Penginjil Jawa; Perintis Gereja Kristen Jawa (GKJ).
- Danurwindo, mantan pemain dan pelatih Timnas Indonesia, asli Kutoarjo.
- Erman Suparno,(mentri Tenaga Kerja Kabinet Indonesia Bersatu).
- Slamet Kirbiantoro, mantan Pangdam Jaya.
- Supriyatno Koord. Muda Ganesha 2006.
- Endriartono Sutarto,mantan Panglima ABRI 2006.
- Kasman Singodimedjo,tokoh pergerakan 1945.
- Herman Alex Veenstra, olahragawan polo air Belanda
- Winoto Danoe Asmoro, kepala rumah tangga presiden Soekarno
- Mardiyanto, mantan Mendagri KIB I
- Soebrantas Siswanto, mantan Gubernur Riau
- Tafsir Nuchamid, wakil Rektor-II Universitas Indonesia
- Aris Yunanto, Kepala Inkubator Bisnis Universitas Indonesia
- Karel Heijting, pemain sepak bola Belanda
Pendidikan
Pondok pesantren
- Pondok Pesantren Al Anwar An Nuur Maron Loano Purworejo
- Darul Hikmah Islamic Boarding School, Jl S.Parman Kutoarjo
- Pondok Pesantren Berjan
- Pondok Pesantren An-Nawawi
- Pondok Pesantren Al-Iman Bulus Gebang Purworejo
- Pondok Pesantren Al-Amin Dukuh Gintungan Gebang Purworejo
- Pondok Pesantren Rodhothul Atfal Bruno Purworejo
- Pondok Pesantren Daarul Muttaqin Kedungsari Purworejo
- Pondok Pesantren At-Tin Doplang Purworejo
- Pondok Pesantren Roudlotul Asna Pogungrejo Bayan
Perguruan tinggi
- Universitas Muhammadiyah Purworejo
- Akademi Komputer Bina Sarana Informatika (BSI) Cabang Purworejo
- Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nawawi
- Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
- Politeknik Sawunggalih Aji Kutoarjo
- Politeknik Megatek
- Akademi Keperawatan Purworejo
- Akademi Kebidanan Bhakti Putra Bangsa
- STIE "RAJAWALI" Purworejo